Seorang kawan bercerita ada PNS di instansi pemerintah salah satu kabupaten di Jawa Timur harus meletakkan jabatannya. Dia termasuk orang yang di-nonjob-kan setelah ada mutasi besar-besaran. Padahal, dia adalah orang yang pangkatnya cukup tinggi. Tapi, begitulah nasib seseorang tidak pernah ada yang tahu.
Sebagai orang awam, saya menebak penyebabnya karena dia NU. Sekali lagi ini hanya tebakan. Dia memang dikenal NU njobo njero. Saat bupati di kabupaten itu adalah orang NU, karirnya melejit. Tapi saat kader NU tumbang di kabupaten itu tumbang pula karirnya.
Sebenarnya, ada pejabat NU lainnya yang masih selamat. Mereka masih bertengger di pucuk pimpinan dinas. Tapi bukan dinas yang “basah”. Selebihnya, semua orang-orang yang tercium pengikut bupati terdahulu harus parkir dulu.
Cerita lain dari seorang kawan yang nasibnya nyaris sama. Dia ada di sebuah instansi yang milik pemerintah. Dia santri sejak SMP. Saat kuliah sampai lulus dia nguri-nguri NU. Saking cintanya sama NU pokoknya kerja nomor dua, NU yang nomor satu. Bisa jadi, berkahnya NU dia akhirnya diterima sebagai PNS di instansi tersebut.
Bayangan dia, menjadi PNS di lingkungan itu dia akan tetap ber-NU ria tapi tidak bisa. Hampir mayoritas di kantornya bukan orang NU. Praktis dia harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang demikian. Kopiah, dan segala macam tentang NU di simpan dulu untuk sementara. Di sana dia belajar, bahwa menjadi minoritas itu harus tahu diri dan jaga diri.
Ada lagi, seorang kawan yang menjadi dosen di kampus yang mayoritas bukan orang NU. Dia sendirian dan karena satu hal dia harus berada di luar kampus. Dia bukan dari golongan mayoritas di kampus tersebut maka konsekuensi tidak mendapatkan peran penting juga sudah siap dijalani.
Tiga kasus di atas sebenarnya hanya contoh kecil bagi mereka yang secara terang-terangan mengibarkan bendera NU-nya saat berada di lingkungan yang tidak NU. Jadi, orang-orang seperti ini sepertinya sudah paham resiko yang akan dialami jika suatu saat nanti orang-orang yang berkuasa tidak dekat dengan NU.
Kisah yang saya sampaikan tadi mirip dengan masa orde baru yang benar-benar mengunci peran NU. Kisah saudara saya yang menjadi PNS di era orde baru harus siap dan rela memasang dua wajah. Apalagi saat pemilu. Meski NU telah sudah masuk ke tubuh satu partai, mereka PNS yang NU akan dengan terang-terangan mendukung partai penguasa untuk bisa bertahan di posisinya sebagai PNS. Jika tidak, akan berdampak pada karirnya. Apalagi, jika sudah dicap sebagai PNS yang melawan pemerintah. Susah sekali memang di era itu.
Kata orang, menjadi seorang PNS itu serba repot. Secara undang-undang dia harus setia pada negara termasuk orang yang mengepalai negara. Tidak taat artinya melawan undang-undang. Melawan undang-undang artinya bunuh diri dengan karirnya sendiri. Contoh saja saat PNS dan pimpinan di instansinya adalah orang yang berseberangan ideologi maka bisa dipastikan dia tidak akan berkembang di instansi itu. Kecuali pimpinannya adalah orang yang menerima perbedaan.
Bagi para PNS yang jiwa dan raganya adalah NU harusnya santai saja jika jabatan hilang karena dicap NU oleh pimpinan. Tidak perlu khawatir dan tidak perlu gemetar. Tetap santui saja sebab kata Gus Dur tidak ada jabatan yang harus dibela mati-matian. Beda bagi mereka yang NU-nya hanya sebagai kedok. Dia akan NU di saat bupatinya NU atau pemimpinannya NU. Saat bupati atau pimpinnya sudah tak NU lagi maka dia akan melepaskan NUnya demi jabatan yang dia duduki.
Seharusnya, para kader NU yang sudah tidak memiliki jabatan lagi akan lebih banyak waktu untuk berkhidmah di NU. Ngopi bareng kader NU akan lebih gayeng lagi. Salam semapak teles, semangat kompak anti lemes. (*)
Redaktur suluk.id