Pemerintah melalui Keputusan Presiden RI Joko Widodo Nomor 22 Tahun 2015 tertanggal 15 Oktober 2015 menetapkan setiap tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan hari santri ini tentunya akan mengukuhkan identitas dan peran santri di kancah nasional. Terlepas dari pro dan kontra tentang penetapan Hari Santri Nasional saya sedikit ingin merefleksikan tentang masyarakat pesantren.
Kata santri sendiri ada yang bilang berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Shastri yang berarti melek huruf. Pendapat lain menyatakan santri berasal dari bahasa Jawa dari kata cantrik, yakni seseorang yang mengikuti seorang guru dengan maksud berguru atau mengaji, kata santri inilah yang akhirnya membentuk satu lingkungan yang dikenal dengan nama pesantren. Terlepas dari pengertian dari mana asal kata santri yang pasti santri adalah golongan masyarakat yang pernah merasakan dan menuntut ilmu di pesantren. Baik dalam istilah mondok ataupun model santri kalong (santri yang tidak bermukim di pesantren).
Istilah santri tampaknya bakal go nasional mengikuti jejak songkok nasional kita yang lebih dahulu beken menjadi pakaian identitas nasional. Tidak salah memang, lha wong songkoknya, atau pecinya saja sudah menjadi ikon nasional kok pemakainya yang kebanyakan dari kalangan pesantren masih berputar-putar di ruang lingkup lokal. Masih saja berdebat qunut dan tidak qunut, tarawih sebelas rakaat ataukah dua puluh tiga rakaat, kalau shalat pakai nawaitu atau tidak dan permasalahan klasik lainnya.
Saya tentu tidak bermaksud merendahkan identitas santri, karena banyak juga santri-santri yang aksinya level nasional bahkan mendunia.Contohlah KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah,Wakhid Hasyim, Gus Dur, Cak Nur , Cak Nun beliau-beliau adalah kaum sarungan yang terlahir dari rahim pesantren. Tanpa meninggalkan identitas santri, mereka mampu berperan sebagai warga negara yang produktif dan konstruktif dalam membangun hasanah peradapan bangsa.
Santri seyogyanya peka terhadap isu-isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, karena memang di masyarakat itulah akar santri menghunjam. Santri dan pesantren seharusnya menjadi semacam katarsis bagi jiwa masyarakat yang semakin keruh, dari pesantren seharusnya mata air kearifan bisa ditimba guna memenuhi dahaga peradapan yang semakin gersang.
Pesantren adalah oase yang menyejukkan di tengah-tengah gencarnya budaya kekerasan dan kesewenang-wenangan yang melanda di sekitar kita. Dari sumber mata airnya yang jernih, dari kesejukan udara pesantren yang murni, dan dari tanah pesantren yang gembur kita berharap negeri ini kembali subur dan makmur, menjadi negeri yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur, negeri yang baik serta berada dalam ampunan Tuhan.
Dari Pesantren yang notabenenya merupakan lembaga pendidikan asli bercorak nusantara kita berharap tumbuh kembangnya nilai-nilai kearifan lokal (wisdom lokal) yang dapat mereduksi dan memberikan anti bodi masyarakat khususnya generasi muda bagi masuknya nilai-nilai dan budaya luar yang nyaris tak terbendung di era globalisasi ini. Merujuk apa yang dikatakan oleh KH. Husein Mohammad Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun Cirebon, dalam buku “Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren” beliau menyatakan : “Saya lahir, besar dan bergumul sepanjang hidup bersama pesantren. Ia memiliki nilai kemanusiaan profetik dan khazanah intelektual yang kaya. Maka, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi sumber inspirasi bagi masa depan bangsa-negara ini.”
Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.