Selain ideologi pemersatu, Pancasila juga berpotensi menjadi instrumen penindasan. Karena itu, sebelum dijadikan emblem jaket, ada baiknya Pancasila dipahami secara ukhrowi.
Saat kelas tujuh SMP, saya pernah nggak hafal Pancasila. Terutama sila ke-4 yang bagi saya kala itu, puuanjang sekali. Gara-gara tak hafal, saya disuruh berdiri di depan kelas sambil menghafalkannya.
Mungkin karena wali kelas saya cerita ke bapak, suatu hari bapak tahu kejadian itu dan mengkonfirmasi kasus ketidakhafalan saya pada Pancasila. Kata bapak, Pancasila itu jangan langsung dihafal. Tapi disungkani. Ditakzimi. Dengan begitu, nanti pasti hafal-hafal sendiri.
“Kok bisa?” Tanya saya.
Pancasila, kata bapak, berasal dari kata Pancashola. Panca dan shola. Panca itu lima. Shola itu sholat. Maksudnya, sholat lima waktu. Sehingga seharusnya kalau ingat Pancasila harus ingat sholat lima waktu.
Dengan ingat Pancasila lalu ingat sholat, kita bisa takzim sama Pancasila. Dan karena takzim, maka nggak perlu dihafal secara kasar, nanti bisa hafal-hafal dengan sendirinya.
Di pikiran saya waktu itu, sila ke-1 sholat Subuh, sila ke-2 sholat Duhur, sila ke-3 sholat Ashar, sila ke-4 sholat Maghrib dan sila ke-5 sholat Isya. Itu, kata bapak, alasan kenapa kiai-kiai dan para ulama dulu sangat dekat dengan Pancasila.
Dan karena Ina sholata tanha anil fahsyai wal mungkar (sesungguhnya sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar), di pikiran saya lagi, berbuat jahat pakai Pancasila rasanya jadi aneh.
Saya tahu bahwa bapak sesungguhnya guyon belaka mengait-ngaitkan sholat 5 waktu dengan Pancasila. Guyon banget dan tidak serius. Niat utamanya, agar saya termotivasi untuk mau menghafal Pancasila.
Tapi memang sejak saat itu saya bisa hafal Pancasila. Dihafal dari depan, belakang, tengah, lancar jaya. Sebab saat ingat Pancasila, saya jadi ingat Kiai. Meski barangkali, saat ini sudah tak sehafal zaman SMP dulu. Hehe
Beberapa tahun belakangan, saat mendengar banyak berita soal Pancasila yang bisa membakar buku, merebut lahan parkir dan memukuli orang, saya langsung mbatin satu hal: itu memahami Pancasilanya secara biasa. Tidak ukhrowi. Wqwq.
Sebab selain ideologi pemersatu, ternyata Pancasila juga berpotensi menjadi instrumen penindasan. Karena itu, sebelum dijadikan emblem jaket, ada baiknya Pancasila dipahami secara ukhrowi.
Memahami Pancasila secara ukhrowi ternyata sangat penting. Agar kita punya rasa sungkan pada Pancasila saat ingin menggunakannya untuk, misalnya, merebut lahan parkir milik warga. Atau merampas buku-buku. Atau memukuli orang tak bersalah.
Sebab, Pancasila yang digunakan untuk kekerasan. Untuk penindasan. Untuk melakukan giat-giat garang berbasis euforia kewibawaan, adalah Pancasila yang tak dipahami secara ukhrowi. Melainkan dipahami sekadar ageman senjatawi.
Mengancam orang pakai jurus pancasilais atau membakar buku pakai teknik pancasilais atau merebut lahan parkir pakai kuda-kuda pancasilais tentu amat eman-eman. Sebab, makna Pancasila jadi sempit sekali.
Karena itu, jangan gunakan Pancasila sebagai senjata. Sebab nanti fungsinya hanya untuk berlindung sekaligus memenuhi kebutuhan hidup. Lha kalau gitu, apa bedanya Pancasila dengan payung plastik atau jaket kulit. Ada-ada saja.
Memahami sila pertama secara seksama
Saat awal-awal kuliah, saya suka iseng memahami Pancasila secara ilahiah. Tentu itu gaya-gayaan saya saja, biar kelihatan pancasilais kayak orang-orang. Terutama sila pertama. Misalnya:
Pancasila: 1. Keutuhan yang maha esa. Tuhan suka yang utuh-utuh. Tuhan tak suka perceraian. Tuhan tak suka perpecahan. Tuhan suka yang utuh. Sebab ada Tuhan di dalam keuTuhan.
Dengan begitu, mereka yang mengaku pancasilais tapi suka berantem berujung perpecahan, harusnya sungkan sama ke-pancasilaan-nya, lalu nggak jadi bermusuhan.
Pancasila: 1. Kebutuhan yang maha esa. Sebab ada “butuh Tuhan” di setiap kebuTuhan. Saat butuh sesuatu, ada Tuhan yang sedang memperhatikan. Setidaknya biar sungkan kalau mau mencukupi kebutuhan pakai cara unik.
Saat membutuhkan sesuatu, seorang pancasilais harusnya akan ingat Tuhan. Sehingga sungkan mau merebut lahan parkir atau mukulin orang. Sehingga sungkan mau ngancam-ngancam orang pakai Pancasila untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dari sila pertama itu, kita tahu bahwa ada Tuhan di setiap keuTuhan. Ada Tuhan di setiap kebuTuhan. Barangkali, itu alasan kenapa poin pertama pada Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Sebab, hanya Tuhan yang mampu mengutuhkan (bangsa). Dan hanya Tuhan pula yang mampu mencukupi kebutuhan (hidup manusia).
Sialnya, permenungan saya baru sila pertama saja. Sila kedua dan seterusnya masih belum sempat saya renungi sampai saat ini. Hehe…