Mahbub Djunaidi yang terkenal dengan sebutan Sang Pendekar Pena adalah seorang aktivis yang perannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Seorang aktivis HMI yang kemudian ikut membidani berdirinya PMII sekaligus ketua umum selama dua periode. Aktivis NU juga politikus. Dan juga seorang penulis handal, tulisannya gurih, dan khas.
Tulisan-tulisannya banyak bertebaran di media massa di jaman orde baru yang syarat akan kritik dan humor. Tapi, siapa sangka bahwa dibalik sosoknya yang tegas dank keras dalam pendirian, beliau adalah sosok yang romantis.
Seperti yang kita tahu bersama kisah-kisah romantismu Gus Dur meluluhkan hati Ibu Sinta dengan surat-suratnya, Gus Mus mengekpresikan sisi romantisme dengan syair dan puisi. Kisah-kisah tersebut banyak bertebaran di internet maupun buku. Lain halnya dengan Bung Mahbub, beliau juga sosok yang romantis, tetapi kisahnya tidak banyak diketahui orang. bahkan jarang sekali ada pembahasan tentang sisi romantisme Sang Pendekar Pena itu.
Kisah romantisme Bung Mahbub berawal ketika beliau mampir di rumah KH. Asmawy setelah diajak oleh sahabat karibnya, Kemal Mustafa, yang masih keluarga dari KH. Asmawy. Dari kunjungannya tersebut, ada yang menarik perhatiannya ketika melihat sosok perempuan berkulit putih, tinggi semampai, bertutur halus, juga rapi. Gadis itu bernama Hasni asmawy, putri ke dua dari tujuh bersaudara. Dari perkenalannya dengan Hasni, Mahbub sering berkunjung ke Bandung untuk bertemu dengan gadis tambatan hatinya, dengan dalih rapat PMII atau rapat NU, padahal hanya alasan. Begitu ketengan dari Kemal Mustafa.
Perjuangan Mahbub Diuji ketika pihak keluarga Hj. Fatimah mempunyai permasalahan. Bunda calon mertua Hj. Maryam Masidah tertangkap dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI-Permesta, sebab menyediakan dapur umum. Mahbub waktu itu yang sudah menjadi intelektual mudanya NU yang juga sudah memiliki kedekatan dengan Bung Karno dan tokoh-tokoh NU, tidak butuh waktu lama untuk hanya sekedar membebaskan Ibu Maryam. Mahbub meminta bantuan KH. Idham Chalid yang menjabat wakil Perdana Menteri, dengan negosiasi tingkat tinggi, bereslah sudah, Ibu Maryam melenggang keluar bui.
Sikap kepahlawanannya langsung senter dibincangkan dikalangan keluarga calon Istrinya. Langkahnya untuk meminang gadis asli Minang tersebut lanjar jaya, tanpa ada halangan. Akhirnya melangsungkan pernikahanya pada 24 September 1960 yang akhirnya dikaruniai 7 orang anak.
Sebelum pernikahannya, Mahbub menulis sebuah wasiat yang sangat indah.
Sebuah hal yang unik memang, bagaimana tidak, wasiat biasanya ditulis ketika seseorang akan meninggal dunia. Tetapi hal tersebut dilakukan Mahbub menjelang hari bahagianya. Wasiat tersebut ditulis pada tanggal 1-2 Djuni 1960 yang isinya
“Andaikata karna suatu hal aku tiada umur, kepada siapa sadja jang menemukan surat ini, tolong sampaikan pada adikku Asni Asymawie. Tolong sampaikan kepadanya bahwa tjintaku abadi, dialah kehidupanku. Diatas njawa dan tjintakuitu aku berharap agar dia dapat mengenangkan aku selama mungkin, memaafkan segala dosaku, supaya dia belajar terus dan memilih orang jang djauh lebih baik dari diriku sendiri. Dia adalah sempoerna bagiku, segala2nja…”
Begituylah surat wasiat yang ditulis oleh Mahbub yang begitu indah. Menunjukkan sisi romantisme Mahbub terhadap pasangannya. Dua sosok yang berbeda, Ibu Hasni yang teliti, rapi, dan memperhitungkan segala resiko, sedangkan Bung Mahbub bebas melenggang meski resiko besar di depan mata. Tetapi tidak ada persoalan. Cinta mereka tetap abadi hingga maut memisahkan keduanya.
*Sumber dari buku “BUNG, Memeoar Tentang mahbub Djunaidi” karya Isfandiari Mahbub Djunaidi dan Iwan rasta.
Ahli sejarah, Alumni UIN Sunan Ampel