Di tengah kebingungannnya, Kang Bejo banyak menghabiskan waktu di warung kopi. Ia dengan teman-temannya bercengkerama tentang bagaimana agar dapat menyelesaikan tugas akhir dengan cepat. Selain hal itu, itu ia juga berpikir dimana ia akan tinggal sambil menyelesaikan tugasnya itu, karena pada tahun 2010 ia sudah tidak tinggal di Pondok Al-Jihad lagi. Bejo nyepi ke tempat lain yang jauh dari kampus, itu dijalaninya sambil terus kuliah hingga semua kelasnya selesai. Sampai tinggal tugas akhirnya saja, tepatnya ada waktu satu semester untuk menyelesaikannya. Ia pun berpikir untuk menyudahi semedinya di sana dan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan kampus, agar lebih tenang dan leluasa dalam pengerjaan tugas pungkasannya.
Akhirnya, sampailah ia pada sebuah keputusan, memilih untuk kembali mondok di pesantren. Tepatnya ia memilih Pesantren “An-Nur”—yang letaknya di Gang Dosen, tepat di belakang kampus IAIN sebagai tempat pengembaraan berikutnya. Pengasuh Pondok tersebut terkenal akan kedalaman ilmu dan ketajaman analisisnya dalam karya tulis dan pendapat-pendapatnya. Beliau adalah Kiai Imam Ghazali Said—Kiai asal Madura dan dosen Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, yang sebelumnya telah menamatkan pendidikan di Mesir dan Sudan. Bejo berpikir, jika berada di pesantren ini, ia akan dapat memahami atau bahkan dapat mewarisi pikiran-pikiran Kiai Ghazali, itupun kalau bisa sampai ke sana.
Kegiatan di pesantren ini hampir sama seperti pesantren mahasiswa pada umumnya. Sholat maktubah berjamaah, kajian kitab kuning setelah shubuh, serta pelajaran intensif bahasa Arab dan bahasa Inggris. Hanya saja di sini, kegiatan mengaji (ta’lim) setelah shubuh sangat diutamakan. Sekian banyaknya santri putra dan putri, dibagi ke dalam tiga kelas yang semuanya diajar oleh guru yang berbeda dan dengan kitab yang berbeda pula. Setiap santri dibebaskan untuk memilih kelas mana yang menjadi minatnya dan harus konsisten dengan pilihannya itu, karena setiap hari diadakan pengabsenan. Santri yang jarang hadir akan dipanggil dan mendapat teguran ataupun sanksi.
Untuk kegiatan intensif bahasa, pembelajarannya dibagi dalam dua bagian. Pada semester ganjil diajarkan secara intensif materi bahasa Arab, kemudian pada semester genapnya, diajarkan materi bahasa Inggris. Itu bertujuan agar materi dapat diserap secara maksimal oleh para santri. Pelaksanaanya hampir sama, santri dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan kemampuannya melalui tes. Jadi, di masing-masing kelas, materinya disesuaikan dengan tingkat kemampuan bahasa santri dalam satu kelompok.
Kang Bejo sendiri mengikuti kelas Kiai Ghazali dengan kitab yang dikajii antara lain; Muhtashar Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali, Riyadh al-Shalihin karya Imam Nawawi dan Kitab Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam karya Ibnu ‘Ajibah. Pada periode sebelumnya, banyak pula kitab-kitab lain yang sudah selesai dikaji, karena selesai hatam sebuah kitab, pengasuh akan mengganti dengan kitab baru lainnya. Semua santri kelas Abi Ghazali (sapaan akrab Kiai Ghazali) harus serius menyimak qiraah dan tarjamah yang disampaikan. Karena setelah dibaca dan dijelaskan, Abi Ghazali selalu memanggil beberapa santri secara acak tiap harinya, untuk maju ke depan beliau.
Santri harus membaca paragraf teks arab yang telah dijelaskan, dengan harakat yang benar sesuai kaidah nahwu-sharaf, lalu menerjemahnya. Metode ini lazim dikenal dengan sorogan. Santri yang membaca dengan keliru akan langsung dibentak di depan banyak santri lainnya. Jika mental tidak siap, santri akan memilih mengunci diri di kamar dan tidak mengaji karena takut.
Bejo sendiri sering kena marah, karena ketiduran saat Kiai mbalah kitab. Akibatnya, Bejo sering membaca dan menerjemah dengan ngawur saat dipanggil ke depan, dan yang jelas, kena marah.
Ada kenangan menarik yang dialami Kang Bejo dengan Kiai Ghazali. Saat masih awal menjadi santri, ia belum mendapat jatah kitab dari pengurus, yaitu kitab Muhtashar Ihya’ Ulumiddin. Ia mengaji tiap subuh di kelas pengasuh tanpa membawa kitab, hanya mendengarkan penjelasan Kiai Ghazali. Lambat laun Kiai Ghazali melihat Bejo yang tanpa membawa kitab tiap pertemuan. Akhirnya pada suatu kesempatan setelah mengaji, Bejo dipanggil Kiai Ghazali dan ditanya mengapa tidak membawa kitab. Bejo menjawab belum dapat kitab dari pengurus, karena persediaan sedang habis.
Mendengar jawaban itu, Kiai Ghazali langsung mengajak Bejo menuju perpustakaannya yang kebetulan berada di ruang tamu beliau. Bejo terkejut dengan tumpukan buku dan kitab-kitab yang begitu banyak tertata rapi di rak-rak sekeliling ruang tersebut. Kiai Ghazali lalu menyodorkan satu buah kitab lama dan sedikit lusuh berjudul Muhtashar Ihya’ Ulumiddin. Bejo sangat gembira karena mendapat kitab langsung pemberian Kiai Ghazali dari perpustakaan beliau. Setelah dibuka, ia senang sekali, karena kitab itu dilengkapi dengan pendahuluan tentang biografi intelektual sang pengarang—Imam Ghazali (Sang Hujjatul Islam), lengkap dengan daftar karya-karya beliau yang jumlahnya ratusan, berbeda dengan kitab yang sama milik teman-temannya di kamar.
Kiai Ghazali jadi sosok idola bagi mahasiswa IAIN Sunan Ampel kala itu. Selain sosok Kiai, beliau juga seorang intelektual publik yang sering mengisi seminar-seminar ilmiah. Tak tanggung-tanggung, temanya cukup berat, tentang Pemikiran dan Gerakan Islam. Argumen beliau selalu dinanti untuk mematahkan pandangan atau teori lawan debatnya. Kiai Ghazali adalah lelaki kelahiran Sampang Madura, 12 Pebruari 1960. Masa kecilnya dihabiskan di pesantren, beberapa bisa disebutkan antara lain Pesantren Hidayatul Muhtadin dan Pesantren Nurul Ulum, keduanya di Sampang Madura. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari Malang, Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo dan Pesantren Bustanul Arifin Batokan, kedua yang terakhir ini berada di Kabupaten Kediri.
Menginjak dewasa, beliau berangkat ke Surabaya untuk menimba ilmu di IAIN Sunan Ampel, tepatnya di Fakultas Adab hingga meraih gelar bachelor of art (BA) tahun 1982 dan sarjana lengkap doktorandus (Drs.) pada tahun 1984. Usai studi di IAIN Sunan Ampel, beliau mendapat beasiswa dari Universitas Al-Azhar Mesir pada Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab pada tahun 1984 dan lulus dengan gelar Licence (Lc). Tidak berhenti di situ, pada akhir tahun 1986, Kiai Ghazali kembali mendapat beasiswa magister di Khartoum International Institute Sudan dan memperoleh gelar Master Of Art (MA) pada tahun 1988. Tidak berhenti di situ, pada tahun 2002 di tengah-tengah kesibukan mengurus pondok An-Nur dan mengajar di Fakultas Adab, beliau mengambil studi doktoral di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya program Islamic Studies dan lulus meraih gelar Doktor (Dr.) pada tahun 2011. Menyimak jejak perjalanan intelektual beliau, sungguh merupakan perjalanan yang sangat panjang, dan pasti penuh dengan tantangan dan rintangan dalam meraihnya.
Dlam perjalanan intelektualnya, puluhan karya telah dihasilkan dari tangan beliau dalam bahasa Indonesia maupun Arab. Tak cukup kiranya jika dijabarkan semua dalam tulisan ini, beberapa karya penting dan pokok saja. Pertama buku Ideologi Kaum Muslim Fundamentalis (Surabaya: Diantama, 2011), merupakan hasil penelitian tesis beliau di Timur Tengah dan kedua, buku Manasik Haji dan Umrah Rasulullah (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2017) yang berasal dari riset disertasi yang menemukan teori fiqh haji dengan pendekatan sejarah (sirah). Beliau juga menerjemahkan kitab rujukan dalam ushul Fiqh Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd sebanyak 3 jilid tebal (Jakarta: Pustaka Amani, 2007). Disamping itu, ada puluhan buku dan terjemah kitab karya beliau yang lainnya yang tidak dapat diurai semuanya di sini.
Di musholla putra lantai dua Pondok An-Nur itu, Kang Bejo mempelajari pemikiran dan argumen Kiai Ghazali, pribadi yang berwawasan luas dan berani mengeluarkan argumennya walau berbeda dengan kebanyakan orang. Ada beberapa pelajaran yang bisa Kang Bejo ambil dari Kiai Ghazali. Pertama, beliau mengajarkan arti sebuah objektifitas, dengan objektifitas itu cukup untuk kita jadikan dasar dalam berpijak, khususnya dalam ritual keagamaan. Dalam hal ini beliau mengajarkan kita untuk tidak bertaqlid buta dengan ajaran leluhur, tapi benar-benar selektif melakukan kajian, apakah ajaran itu sejalan dengan pesan agama atau tidak. Kalau boleh berpendapat, beliau adalah pembawa arus baru dalam NU (Nahdhatul Ulama), bahwa dalam menghadapi tantangan kaum tekstualis dan literalis kita juga harus melawannya dengan pendekatan yang sama, dengan pendekatan tekstual berdasarkan qur’an dan hadits. Dengan demikian, kita dapat menghindari anggapan bid’ah dan bahkan sesat dari kelompok-kelompok radikal tersebut.
Kedua, beliau menekankan bahwa kita harus terus berpikir secara sungguh-sungguh, berani dan objektif. Dari pemikiran tersebut, akan tercipta gagasan yang orsinil tentang apapun, dan berasal dari kita sendiri. Kalau kita sudah meyakini bahwa gagasan itu benar, kita harus berani untuk mengungkapkan gagasan itu dengan rasionalisasi yang tepat, meskipun bisa bertentangan dengan banyak orang. Kalau memang gagasan kita baik, tentu akan banyak yang sepakat, tapi dengan catatan jangan sampai membuat kita terjebak menjadi jumawah. Sebaliknya, kalau gagasan kita tersebut terbukti kurang sesuai sebagai solusi permasalahan, maka kita harus berbesar hati untuk mengakui bahwa kita salah.
Ketiga, beliau berpesan tentang kesuksesan, masih saya ingat kata beliau yang mengambil sebuah hasil riset di Amerika. Dari riset tersebut disimpulkan, bahwa 85 % kesuksesan seseorang itu ditentukan oleh relasi (public relations), sedangkan sisanya 15 % ditentukan oleh kecerdasan dan kekayaan. Kita tidak boleh cepat bangga dengan nominal IPK (Indeks Prestasi Komulatif) yang cumlaude, karena semua itu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya relasi yang luas. Melalui public relation itu, kita dapat terus belajar dari orang lain dan bisa mengembangkan bakat, ide, ilmu, maupun kegiatan usaha yang kita miliki.
Pada tahun 2019, Kiai Ghazali resmi meraih gelar guru besar sebagai capaian intelektual akademik tertinggi di bidang sejarah Islam. Prof. Dr. Imam Ghazali Said, MA., Engkau akan selalu menjadi idola dan panutan bagi santri-santrimu, termasuk Kang Bejo yang hanya laksana sebutir debu, begitu mudahnya dihempas-lepaskan oleh seruak angin. Wallahu A’lam.
Dosen, Peneliti, ISNU