Preman: meski pensiun akan membawa perbawa sendiri. Begitu juga dengan pensiunan guru, pegawai, tentara, dosen, dan segala jenis pekerjaan dan profesi yang mempunyai masa pensiun.
Namanya preman, perbawanya pasti akan membuat segan bagi banyak orang. Ciri yang khas ini akan terus terbawa. Bahkan sampai tua dan sudah tidak punya tenaga mereka akan tetap disegani. Masih ada orang takut saat marah.
Kalau ada yang pernah menonton tokoh Kang Bahar dan Kang Mus di situasi komedi Preman Pensiun, sedikit banyak begitulah gambaran kehidupan preman ketika memutuskan untuk berhenti.
Saya percaya penulis naskah dan sutradaranya melakukan riset terlebih dulu. Kang Bahar, meski tua masih tetap disegani. Begitu juga dengan orang kepercayaannya, Kang Mus, yang meski berbadan kecil masih punya banyak pengikut. Meski disajikan dalam bentuk komedi, dua tokoh tersebut berusaha mati-matian agar dunia premanisme di Bandung hilang.
Lalu bagaimana semestinya kalau preman itu pensiun?
Saya lupa-lupa ingat kalimat tepatnya. Tapi KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha, pernah dawuh dalam salah satu ceramahnya bagaimana semestinya preman ketika sudah pensiun. Beliau mengkritik perilaku preman yang kadang sudah bertobat, tapi malah menghabiskan waktunya hanya di tempat ibadah.
“Kalau preman pensiun jangan hanya ngumpet di masjid saja.” Kurang lebih seperti itu. Saya mohon koreksi kalau ada yang salah di bagian ini. Koreksi bisa disampaikan melalui email admin media ini. Hehe
Karena sudah bertobat, ada yang merasa enggan untuk kembali ke tempat dia semula. Biasanya preman akan menguasai suatu tempat, bisa pasar, jalanan atau sejenisnya. Wilayah-wilayah ini adalah tempat dia mendapatkan uang. Tak jarang konsekuensi dari kepemilikan lahan atau wilayah ini adalah jalan perkelahian.
Tapi sebaliknya, Gus Baha, menyarankan agar preman tersebut kembali lagi ke wilayahnya dan masih bernyali. Masuk ke pasar bukan untuk memalak, tetapi memastikan para pedagang aman. Bisa juga kembali lagi ke jalan agar orang yang melintas aman dari gangguan preman lain.
“Jangan tobat kemudian posisinya digantikan preman lain.” Kurang lebih begitu Gus Baha meneruskan.
Baik dari cerita sinetron Preman Pensiun ataupun ceramah Gus Baha, setidaknya kita bisa mengambil sedikit kesimpulan. Tobatnya sang preman tidak hanya berdampak pada diri sendiri dengan lebih rajin beribadah. Tetapi juga berdampak di lingkungan sosialnya selama ini. Kalau perlu berkelahi lagi untuk memastikan preman lain tidak melakukan kejahatan yang sama.
Kenapa contoh di atas hanya preman jalanan? Padahal “preman” jenis lain juga banyak dan bahkan lebih jahat. Seperti tukang sunat anggaran misalnya?
Kalau preman jalanan tobatnya berat. Biasanya jalan yang ditempuh keras. Selain fisik buat berkelahi kuat, juga mental harus setekat baja. Kalau preman yang satunya sebenarnya cukup punya mental satu aja: T-I-D-A-K K-O-R-U-P-S-I. Beres lah salah satu persoalan besar di negara ini.
Hidup ini “mungkin” akan lebih baik ketika saya dan sampean sadar kalau ada sisi premanisme di semua profesi dan pekerjaan. Jangan-jangan kita juga perlu menjadi preman pensiun. (*)
Tinggal di Tuban, menulis di Suluk.id