Dulu, sekitar tahun 2002, saya pernah ngaji pasan (tidak online lho) di Pondok Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo Magelang. Di sana saya mengaji kepada KH. Abdurrahman Khudlori (Allah yarhamuh) dan ustadz lainnya. Pengajian di pondok banyak yang selesai pada pertengahan Ramadlan.
Setelah pengajian selesai, saya -bersama dua teman lainnya- berencana pergi ziarah ke makam Gunungpring yang ada di kecamatan Muntilan. Di makam itu kami akan berziarah di makam Raden Santri, Ki Jogorekso dan wali-wali lainnya khususnya Mbah Dalhar pengasuh Pesantren Darussalam Watucongol yang juga dimakamkan di puncak Gunungpring. Gunung ini sesuai dengan namanya, banyak pohon Pring alias Bambu.
Pada hari itu kami bertiga berangkat setelah ashar dari Tegalrejo, dengan asumsi sebelum Maghrib sudah sampai di Gunungpring dan bisa berbuka puasa di sana. Dari Pondok Tegalrejo kami naik bus yang bisa dicegat pas di depan pondok. Pondok ini akses transportasinya sangat mudah, tepat pinggir jalan raya jalur Magelang – Salatiga. Walaupun mudah, tapi di hari biasa, santri tidak bisa seenaknya keluar masuk pondok tanpa izin dari pengasuh atau pengurus.
Kami naik bus mini menuju ke terminal Tidar Magelang lebih dulu. Kemudian baru naik bus lagi untuk menuju ke arah Gunungpring. Saya lupa jalurnya, tapi yang saya ingat, bus berjalan dan berhenti sebentar di terminal Borobudur. Ketika itu saya baru tahu kalau Borobudur ternyata nama salah satu kecamatan di Magelang. Sebelumnya, saya menganggap kalau Borobudur itu cuma nama candi. Jadi tidak salah kalau ada yang bilang, di Borobudur itu ada masjid, musalla, atau pesantren. Ada pengajian agama Islam, ngaji pasan, ngaji al Qur’an dan seterusnya. Hehe.
Beberapa lama di bus, waktu sudah semakin sore dan mendekati Maghrib. Kami agak resah kalau waktu berbuka puasa masih berada di bus, karena kami tidak membawa bekal makanan atau minuman. Dan di bus mini ini tidak ada pedagang asongan yang menawarkan makanan atau minuman. Perkiraan kami sampai di Gunungpring sebelum Maghrib meleset, busnya berjalan sangat pelan dan lambat. Kru bus sepertinya tidak menghiraukan rasa haus dan lapar yang kami alami. Dan di dalam bus ini para penumpang sudah turun semua, tinggal kami bertiga.
Benar juga, bedug adzan Maghrib mulai berkumandang. Tapi belum ada tanda-tanda kalau kami sudah dekat dengan tujuan, Gunungpring. Sungguh malang nasib kami yang tidak bisa berbuka puasa di saat orang lain sudah minum es dawet Cendol ala Magelang atau Jogja. Hemmm. Ternyata tidak kami sangka dan tidak kami duga, ternyata sopir bus dan kondekturnya juga haus dan lapar menunggu berbuka puasa. Mereka sudah membawa bekal makanan dan minuman. Mereka pun menawari kami makanan dan minuman sekedar untuk berbuka puasa. Alhamdulillah, segar sekali tenggorokan saya. Kami tidak menyangka kalau sopir dan kondektur busnya berpuasa. Karena -mohon maaf- sering kami melihat para sopir bus dan kondektur tidak puasa Ramadlan.
Pelajaran pertama, kita tidak boleh berburuk sangka kepada orang yang kelihatannya jelek. Pelajaran kedua, berpuasa jangan hanya menahan makan dan minum, biar tidak bernafsu ketika berbuka puasa. Pelajaran ketiga, di dunia ini masih banyak orang yang baik seperti sopir dan kondektur tadi. Dan pelajaran keempat, berikan waktu yang cukup untuk bepergian, biar tidak terlambat dengan jadwal yang kita rencanakan. Karena kita tidak tahu yang akan terjadi dalam perjalanan. Wallahu a’lam.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban