Pasca reformasi, perdebatan antara Pancasila dengan Islam semakin menghangat, bahkan memunculkan ketegangan. Ini dipicu dengan diusungnya gagasan negara khilafah yang menghadap-hadapkan langsung antara Pancasila dengan Islam.
Sayangnya, perdebatan ini tidak disertai dengan kesepakatan memaknai nilai-nilai dasar Pancasila. Sehingga yang muncul adalah menegasikan unsur satu dengan yang lainnya. Jika memilih Islam maka dianggap mengkhianati Pancasila, sebaliknya jika memilih Pancasila berarti mengingkari Islam.
Dalam konsep khilafah, nilai-nilai filosofis Pancasila dipereteli, ditafsirkan sendiri, dilepaskan dari substansi agama (Islam), dan dicampakkan dalam lumpur kerancuan berpikir.
Terjadi gagal paham terhadap pondasi dasar Pancasila dan semangat keindonesiaan, yaitu spiritualitas dan nilai-nilai ketuhanan. Ini merupakan tindakan konyol dan ahistoris.
Jika yang menjadi pijakan berpikir adalah bahwa Pancasila tidak mampu membawa keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan sebagaimana fakta yang terlihat, maka logika ini harus dilawan balik.
Justru ketidakadilan dan ketimpangan tersebut terjadi karena bangsa Indonesia melakukan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Sebagaimana jika khilafah adalah sistem terbaik karena “datang langsung” dari Tuhan, mengapa pula bisa tergerus jaman dan hancur berkeping-keping?
Selanjuntya, mari kita menilik pandangan NU dan Muhammadiyah tentang Pancasila.
Sebelum Indonesia berdiri, Nahdlatul Ulama telah memberikan status negara dan wilayah Nusantara dari sudut pandang agama Islam. Ini dilakukan jauh sebelum ada perdebatan-perdebatan di BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945.
Yang menarik, dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan. Hasil muktamar memutuskan bahwa Indonesia merupakan Darul Islam.
Istilah Darul Islam di sini bukanlah sebagai bentuk sistem politik ketatanegaraan, tetapi hanya sebagai kewilayahan Islam. Negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, di mana umat Islam bebas menjalankan syariat agamanya tanpa diskriminasi dan halangan apapun.
Sikap NU pada muktamar Banjarmasin tersebut di masa depan kemudian menjadi pijakan penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal negara pada Muktamar 1983 di Situbondo. Pancasila dianggap telah menjadi representasi bersama tentang konsep untuk menjadikan Indonesia Darus Sulhi (negeri yang damai).
Bagaimana dengan Muhammadiyah? Dalam dokumen resmi Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makasar tahun 2015 tentang Dar al-‘ahdi wa al-syahadah ditegaskan,
“Adapun dasar dan ideologi negara yang fundamental ialah Pancasila yang disebut oleh Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 sebagai Philosofische Grondslag yaitu fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda tahun 2014.
Kesamaan pemikiran antara NU dan Muhammadiyah tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi umat Islam dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional dan kontekstual.
Menurut Grand Syaikh Al Azhar, Mesir, Ahmad Mohamad ath-Tayeb, Pancasila bukan hanya sejalan dengan ajaran Islam, melainkan dipandang sebagai esensi nilai-nilai ajaran Islam.
“Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, prinsip musyawarah dan keadilan adalah intisari ajaran Islam”. Pernyataan ini diharapkan mampu membuka pikiran kita bersama bahwa mempertentangan Pancasila dengan Islam adalah gagasan usang dan terbelakang. (*)

Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban