suluk.id – Mengutip surat kabar Tempo, sejak 25 Juli 2022 empat petinggi ACT resmi ditetepkan sebagai tersangka. Kasus yang menjerat lembaga filantropi ini diduga adanya penyelewengan dana umat dan pengelolaannya. Masih menurut Tempo sejumlah penyelewengan terjadi dari gaji fantastis para petinggi ACT, penggunaan pagu operasional melebihi ketetapan regulasi. Dugaan lainnya juga dana itu mengalir kepada rekening aktivitas teroris baik nasional maupun internasional.
“Berdasarkan data transaksi dari dan ke Indonesia periode 2014 sampai dengan Juli 2022 yang terkait ACT, diketahui terdapat dana masuk yang bersumber dari luar negeri sebesar total Rp 64.946.453.924, dan dana keluar dari Indonesia sebesar total Rp 52.947.467.313,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavan dana pada Kamis, 7 Juli 2022 seperti dikutip tempo.co
Fenomena ACT kembali menyita perhatian public. Masyarakat kembali dibuat kaget atas lantangnya beberapa lembaga sosial semacam filantropi berani menyelewengkan dana dan menikmatinya demi kepentingan pribadi dan kolega. Meski ACT secara legal formalnya bernaung kepada Kementrian sosial, akan tetapi objek para donaturnya mengarah pada mayoritas muslim. Hal ini bisa diperhatikan dari jenis pungutan pendanaan yang sesuai pada konsep Syariah (zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah sumbangan masyarakat dan nama lainnya) yang bersumber dari kedermawanan masyarakat.
Sebagaimana kita tahu, Gerakan-gerakan sosial, politik, ekonomi, pendidikan akan lebih menstimulus masyarakat Indonesia jika dilabeli dengan semangat beragama pula. Dengan populasi muslim trebesar di dunia. Pesan-pesan teks agama yang menganjurkan. untuk menolong dan meringankan beban orang lain dengan menyumbangkan sedikit hartanya merupakan praktek amal shaleh yang tak terbantahkan. Asumsi penulis, muslim mayoritas, sedekah maupun infak adalah amal shaleh, dijadikan dasar oleh pendiri ACT untuk memilih “agama” sebagai tameng lembaganya agar praktek penyelewengan tidak mudah terendus
Apa Itu Filantropi
Mengutip Journal of Islamic Philanthropy and Disaster (2021), lembaga filantropi itu sebuah lembaga non-profit atau lembaga yang tidak mencari keuntungan dalam implementasi program-programnya. Tujuan lembaga filantropi adalah meningkatkan kesejahteraan hidup para penerima bantuannya. Konsep filantropi menjadi lahan basah bagi siapapun yang ingin mendapatkan pembiayaan kegiatan/proyek kemanusiaan dengan bermodal simpati public. Atas dasar solidaritas sosial kemanusiaan masyarakat akan dengan mudah menyisihkan sebagian hartanya kepada sesama.
Menurut data survei Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021, Indonesia menduduki rangking 1 negara paling dermawan. Ini artinya filantropi tumbuh subur di Indonesia. Namun patut disayangkan, pertumbuhan yang meningkat tidak berbanding lurus dengan perannya sebagai lembaga penyalur dana sosial bagi yang membutuhkan. Diawali dari tergodanya pengelola dengan dana yang melimpah kemudian penyelewengan dana yang harus disalurkan menjadi pola yang sama pada setiap kasus. Mengapa bisa jadi demikian, mengutip dari berbagai sumber lembaga sosial dalam konsep filantropi tidak dibebani untuk melaporkan dana yang terkumpul maupun dana yang telah ditasharufkan kepada pemerintah.
Bagaimana Control Pemerintah
Peran dan fungsi negara sebagai control sejatinya sudah jelas tertuang dalam undang-undang zakat Nomor 23 tahun 2011 maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 mengatur tentang pengawasan dana-dana filantropi. Namun faktanya pada ranah pengawasan pemerintah terbilang lemah. Regulasi mengenai pengawasan terhadap lembaga semacam ini seperti jalan di tempat. Hingga saat ini peran negara tidak lebih dari sekedar pemberi izin pendirian. Ditambah lagi dengan kebiasaan lembaga filantropi sering menutup diri dalam mengelola lembaganya dan hanya menjalin mesra dengan komunitas pendukung tertentu maupun ormas simpatisan.
Transparansi pengelolaan dana filantropi belum menjadi informasi public. meski masing-masing lembaga tadi telah lolos audit oleh lembaga keuangan yang mereka tunjuk sebagian masyarakat sadar praktek itu hanya bentuk formalitas belaka. Kedepan lembaga yang bergerak pada ranah filantropi harus dievaluasi serta mendapat atensi khusus oleh negara. Regulasi dijalankan agar tidak terjadi lagi praktek kesewenangan dalam praktek sosial yang nyatanya justru asocial. Jika hal ini tidak segera dilaksanakan, konsekwensinya adalah runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga sosial sejenis baik swasta maupun milik pemerintah.
Kelak masyarakat lebih percaya untuk menyalurkan sendiri dana-dana mereka kepada mustahik secara langsung, dan akan berujung kepada subjektifitas penyalur. Ancaman dari akumulasi praktek tadi adalah adanya ketidak merataan santunan sosial kepada mustahik yang kemudian bisa menimbulkan ketimpangan sosial pada akar rumput.
Resolusi
Ketika kasus ACT booming menjadi topik utama seluruh stasiun TV swasta maupun surat kabar elektronik, seorang teman sempat menyeletuk, “Apa pemerintah tidak punya wadah untuk menyalurkan dana sosial semacam yang dikelola ACT tersebut ? kok dengan mudahnya masyarakat sipil diberi kemudahan mendirikan sekaligus mengelolanya secara mandiri”.
Celetuk teman tadi mengajak penulis untuk kembali menelaah undang-undang zakat Nomor 23 tahun 2011 maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 mengatur tentang pengawasan dana-dana filantropi. Meski isi undang-undang tersebut bertujuan meneguhkan keberadaan BAZNAS sebagai lembaga pemerintahan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Didalanya pada bagian keempat pasal 28 yang menagtur pengelolaan infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya menjelaskan bahwa: selain meneriman zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi. Pengelolaan inda, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.
Jika melihat dari pasal tersebut, dana sosial atau yang lebih kita kenal saat ini dengan sebutan filantropi sangat mungkin dikelola oleh BAZNAS. Lewat BAZNAS masyarakat seharusnya akan lebih percaya. Diberbagai daerah Lembaga BAZNAS ini telah cakap dalam hal manajemen dan pengelolaan keuangannya. Merunut pada bagian kelima pasal 29, BAZNAS kabupaten/kota wajib meyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zkat, infak, sedekah, dana sosial keagmaan lainnya kepada BAZNAS Provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
Dan begitu seterusnya, pelaporan dijalankan dengan skema dari hilir ke hulu hingga sampai pada pemerintahan pusat. Dalam pengalaman penulis, yang pernah melakukan penelitian pada lembaga BAZNAS di Tulungagung, laporan dana yang terhimpun, hingga pengelolaan dan skema pen –tasharufannya dilaporkan setiap tahunnya kepada kepala daerah atau bupati. Kemudian hasil laporan yang telah disetujui tersebut di publish pula melalui website yang mereka kelola agar public dan masyarakat umum bisa memantau dan mengawal akuntable BAZNAS sebagai lembaga pengelola dan penyalur zakat, infak dan sedekah milik pemerintah.
Saya bertemu dengan Ahmad Supriyadi selaku konsultan BAZNAS Tulungagung. Dia menyayangkan perkara yang menimpa lembaga filantropi. Menurut dia, jika saja beberapa daerah terutama pemerintah mau peduli dengan keberadaan BAZNAS, mestinya angka kemiskinan ditiap daerah bisa ditekan semaksimal mungkin. Ahmad Supriyadi juga menunjukkan data tentang penghimpunan BAZNAS Tulungagung selama setahun sekaligus pelaporan pendistribusiannya. Menurutnya, ada dua faktor utama mengapa di beberapa daerah lembaga ini tidak hadir atau non-fungsi. Pertama, lemahnya peran pemerintah terhadap fungsi, peran serta terselenggaranya BAZNAS, bagi daerahnya. Kedua, lemahnya literasi masyarakat soal Zakat yang dikelola oleh lembaga pemerintahan yang menggandeng kepakaran dan unsur professional. Lantas bagaimana peran BAZNAS di daerahmu? (*)
Dosen IAIN Tulungagung.