Maraknya workshop dan pelatihan poligami menunjukan betapa mudahnya agama dijadikan bumper bisnis. Ia wujud nyata dari kapitalisasi syahwat berkedok agama.
Suluk.id – Ustazfotainmen yang akhir-akhir ini kerap mengkampanyekan gaya hidup poligami dan memberdayakan perempuan secara syariah cum syurgawi, kadang seperti lama tak ketemu teman, sekalinya ketemu langsung diprospek ikut gabung MLM: memuakkan.
Dengan kerap mengekspos kehidupan berpoligami, seolah laku itu menggambarkan konsep lelaki muslim secara benar: poligami sebagai lelaku ubudiyah. Tentu, itu salah besar dan harus diluruskan.
Anggapan sesat pikir itu, harus diluruskan. Sebab, bagaimanapun, menghargai perempuan jauh lebih mulia dibanding membungkus nafsu syahwat dengan cara memberdayakan secara syariah dengan berpoligami.
Saat ini, masyarakat awam banyak dicekoki berbagai istilah kearab-araban berbasis tuntunan berumah tangga, sekaligus tuntunan berpoligami. Bagi saya, itu semua tidak lebih dari giat bisnis dengan bumper agama.
Belakangan, misalnya, beredar sebuah poster workshop sukses poligami. Yang mau ikut mbayar hingga hampir Rp 4 Juta. Dilatih langsung oleh seorang “coach” yang telah berpengalaman praktek poligami 4 istri selama 20 tahun.
Lihatlah, betapa memalukan apa yang dilakukan oknum ustazfotainmen sekaligus coach itu. Kalau mau jujur, bukankah giat semacam itu yang menjadikan orang awam (non muslim) semakin ilfil dengan ajaran Kanjeng Nabi?
Kita tahu, saat ini, bisnis akan cepat melejit jika mengandung istilah Arab. Istilah islami. Pensil syar’i atau gayung syurgawi atau ches-chesan islami, misalnya, kini banyak ditawarkan. Seolah-olah, dengan menggunakan komoditas itu, bisa otomatis nginden kavling di surga. Poligami juga bagian dari bisnis itu.
Selain jelas-jelas bisnis berkedok agama, ini merupakan sebuah penistaan yang sesungguhnya. Lha gimana tidak? Membawa “sunah rasul” sebagai bumper syahwat yang diorientasikan pada kepentingan bisnis, Je.
Padahal, semua tahu, Nabi menikah sebanyak lebih dari satu kali karena memang sesuai tuntutan zaman. Yakni, memperbanyak keturunan dalam rangka mempercepat persebaran agama Islam.
Nah, sekarang, oknum-oknum yang mengkampanyekan poligami tentu sudah berbeda tujuan dengan nabi. Selain konteks zaman yang tidak sama, ini jelas lebih didorong urusan syahwati dan hartawi.
KH. Husein Muhammad Cirebon, salah seorang Kiai yang juga Komisioner Komnas Perempuan—dalam salah satu tulisannya— menjelaskan, poligami bukanlah praktik yang dilahirkan Islam. Menurutnya, Islam tidak menginisiasi perkawinan Poligami. Jauh sebelum Islam datang, tradisi poligami telah menjadi salah satu bentuk praktik peradaban patriarkis di seluruh dunia.
Poligami adalah corong peradaban patriarki, peradaban yang memposisikan laki-laki sebagai aktor yang memiliki hak menentukan seluruh aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi hingga politik. Di mana, nasib hidup kaum perempuan dalam sistem ini didefinisikan oleh laki-laki dan untuk kepentingan mereka.
Perempuan, dalam budaya patriarki dipandang sebagai layaknya benda (mataa’) dan untuk kesenangan (mut’ah) laki-laki. Peradaban ini telah lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti Mesopotamia, Mediterania dan di hampir seluruh bagian dunia lainnya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa poligami sejatinya bukan khas peradaban Arabia, melainkan juga peradaban bangsa-bangsa lainnya.
Tidak ada hubungannya Arab (apalagi Islam) dengan poligami. Tidak ada hubungannya (syur)ga dengan poligami. Yang berhubungan secara langsung dengan poligami hanyalah nafsu syahwati. Seminar-seminar perihal poligami, sangat berkorelasi dengan nafsu syahwat dan kepentingan ekonomi. Di sinilah, letak penistaan yang sebenarnya itu dilakukan.
Poligami terjadi karena adanya relasi-kuasa antara laki-laki dan perempuan. Lelaki yang memiliki kekuasaan dominan di dalam sebuah hubungan, selalu berpotensi memilih opsi berpoligami. Padahal, seperti yang kerap disinggung Kiai Husein Muhammad, idealnya hubungan tidak menghadirkan relasi-kuasa, melainkan relasi-kesalingan.
Relasi-kesalingan tidak menghadirkan kekuasaan dominan dalam sebuah hubungan. Sebab, kedua belah pihak cenderung saling melengkapi dan saling berbagi peran sesuai sunatullah masing-masing. Jika relasi-kesalingan hadir dalam sebuah hubungan, tentu, tidak ada jalan bagi laku berpoligami. Bagi saya, Gus Mus dan Kiai Husein adalah sosok panutan dalam hal relasi-kesalingan.
Bisnis berupa workshop dan macam-macam pelatihan poligami adalah satu diantara banyak bisnis dengan bumper agama. Sehingga, saat ada yang mengkritiknya, seolah mengkritik agama. Padahal ya tidak. Itu murni bisnis. Murni kapitalisma.
Kapitalisasi Syahwat dan Relasi Kuasa yang Politis
Workshop poligami jelas kapitalisasi syahwat. Lebih dari itu, bahkan tak lepas dari unsur politis dan relasi kuasa. Hubungan masyarakat dan pemerintah (dalam hal ini tokoh politik, baik pejabat maupun politisi), tidak lepas dari teorema relasi. Oknum-oknum politisi yang memiliki bakat “mendominasi” kekuasaan— relasi-kuasa, sangat berpotensi berbuat sewenang-wenang.
Mereka suka berbohong, memonopoli dan berbuat curang untuk mendapatakan apa yang mereka inginkan. Tahta, harta dan wanita, semua masuk dalam corong syahwat mereka. Itu menjadi alasan kenapa poligami sangat dekat dengan mereka yang pandai beretorika.
Sebab, ketiga label tersebut (pejabat, politisi dan pengusaha), memiliki kecenderungan berlaku relasi-kuasa. Ingin menguasai kebijakan, ingin menguasai parlemen, dan ingin menguasai zona perdagangan.
Kecenderungan “ingin menguasai” inilah, yang mendorong mereka dekat dengan poligami. Sebab, sifat ingin berkuasa adalah embrio dari laku relasi-kuasa, laku berpoligami. Jadi bukan lagi tuntunan agama, tapi murni urusan kapitalisma. (*)