“Abah itu pernah jadi PNS, tapi tidak pernah mau memberi nafkah keluarga dari uang gajinya tersebut. Agar bisa menafkahi keluarga, Abah juga bekerja sambilan: sopir angkot, reparasi jam, dan sebagainya. Umi juga jualan beras. Semata-mata untuk memegang teguh komitmen tidak makan gaji PNS.” demikian cerita Gus Achmad Shampton Masduqi.
Abah yang dimaksud di tulisan ini adalah KH. Achmad Masduqi Mahfudz, seorang pakar fikih yang memangku posisi tertinggi di NU Jawa Timur: Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, 2002-2007.
Pernah, suatu ketika, di tahun 1980-an, besan KH. A. Mustofa Bisri ini mengendarai angkot miliknya menuju sebuah desa yang mengundangnya menjadi mubalig. Di tengah perjalanan, ada seorang ibu yang memberhentikan angkotnya, lalu dia naik.
“Mau ke mana, Bu? tanya “supir angkot”.
“Ke desa A,” jawab ibu penumpang.
“Untuk apa? tanya “supir angkot” lagi.
“Menghadiri pengajian,” jawab ibu tersebut.
Lantas, ketika sampai di lokasi, betapa kagetnya si ibu tadi karena muballignya adalah sopir angkot yang menemaninya di perjalanan.
Di antara keunikan lain Kiai Masduqi adalah minatnya pada teknologi. Di saat kiai lain masih akrab dengan komputer, pengasuh PP. Nurul Huda Mergosono, Malang, ini sudah menenteng laptop.
Saya masih ingat, ketika Kiai Masduqi memberi mauidzoh hasanah dalam rangka 1 Muharram di pesantren kami, PP. Mabdaul Ma’arif, Jombang-Jember, tahun 2001, beliau menenteng laptop dan bercerita mengenai kegunaan perangkat teknologi ini dalam kajian Bahtsul Masail karena praktis menyediakan banyak aplikasi kitab di dalamnya.
Kiai Masduqi, sebagaimana ditulis di awal paragrap tulisan ini, memang abdi negara, PNS/ASN. Tetapi karena Kiai Chamzawi, mertuanya, melarang dirinya dan keluarganya memakan uang gaji negara, beliau manut. Kiai Chamzawi ini tipikal ulama yang meskipun menjadi pegawai KUA di zaman Orde Lama, tetapi tidak makan gaji PNS-nya. Alasan ikhtiyath alias kehati-hatian. Mengapa?
Sebab, dalam gaji PNS itu sumbernya bercampur aduk, antara pendapatan negara yang halal dan “abu-abu”. Ini pendapat pribadi beliau yang dianut oleh menantunya. Kalau tidak mau gaji PNS mengapa tetap menjadi aparat negara? Jawabnya, niat khidmah merawat negara yang didirikan oleh para ulama. Jawaban singkat, padat, jelas. Toh, soal rezeki baik Kiai Chamzawi maupun Kiai Masduqi Mahfudz punya sumber lain yang menjamin keberlangsungan ekonomi keluarganya.
Baiklah. Lantas dikemanakan uang gaji PNS ini? Oleh Kiai Masduqi, gaji bulanannya ini dikumpulkan, lantas setahun sekali, menjelang hari raya, uang ini dibagikan ke tetangga, para fakir miskin, pengurus NU level ranting, marbot masjid, imam langgar dan sebagainya.
Meski demikian, Kiai Masduqi tidak pernah melarang anak dan para santrinya menjadi PNS. Ketika Gus Achmad Shampton diterima sebagai PNS di Kementerian Agama (bahkan beberapa kali menjadi Kepala KUA), Kiai Masduqi hanya berpesan:
“Pertama. Jadilah PNS yang baik, diniati merawat negara ini, sebab NKRI juga didirikan oleh para ulama. Masalah rezeki itu dijamin Allah. Kedua, jangan berbangga diri dan berlebih-lebihan. Ketiga, jangan lupa memperbanyak bacaan selawat.”
Wallahu A’lam Bisshawab
Didampingi Gus Shampton Masduqi, saya bersama Mas Abdulloh Hamid, Ustadz Halimi Zuhdy, Ustadz Isa Laa Tansaa, dan Mas Ahmad Islahul Umam dan para sahabat lain berziarah ke makam KH. Masduqi Mahfudz, 23 Oktober 2018 silam.
Pernah dimuat pada situs alif.id
https://alif.id/read/rijal-mumazziq-z/hari-santri-mengenang-kiai-masduqi-mahfudz-dan-niat-menjadi-pns-b212510p/
Dosen