Sebelum Kiai Nafis Misbah wafat pada 25 November 2016, saya pernah bertemu dengannya. Persis tiga hari sebelum beliau meninggal. Kiai Nafis meninggal saat Jumat. Saya bertemu sekitar selasa.
Pertemuan yang sungguh saya tak menyangka. Jika itu menjadi pertemuan terakhir. Kiai Nafis adalah putra ketiga dari Kiai Misbah Mustofa. Dari Kiai Nafis saya mendapat sedikit cerita tentang abahnya. Ya, kisah tentang Mbah Misbah Bangilan.
Kiai Misbah Mustofa memang lebih kenal dengan sebutan Mbah Misbah. Sosok kharismatik ini pendiri Pondok Pesantren Al-Balagh di ujung selatan Kabupaten Tuban, tepatnya di Dusun Karang Tengah Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban.
Bangilan itu berada di Tuban bagian selatan. Daerah yang dulu menjadi jalur kiai-kiai Bojonegoro saat menempuh perjalanan menuju Lasem.
Mbah Misbah lahir 5 Mei 1916 di Desa Sawahan Gang Palen Kabupaten Rembang dari pasangan K.H. Zainal Mustofa dan Nyai Khotijah.
Jadi, Mbah Misbah masih saudara dari K.H. Bisri Mustofa (ayah Gus Mus). Bisa jadi Gus Mus memanggil Mbah Misbah dengan sebutan Pakde ataupun Paklek.
Mbah Misbah termasuk ulama yang paling produktif menulis. Karyanya kurang lebih 200. Baik terjemahan ataupun hasil dari pemikirannya.
Mbah Misbah kecil memulai pendidikannya di Kasingan Rembang diasuh oleh Kiai Kholil. Di bawah asuhan Kiai Kholil, Mbah Misbah sangat tekun dalam belajar ilmu agama hinga terkenal “Nglothok” dalam memahami kitab Alfiyah Ibnu Malik. Kemudian beliau meneruskan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Mbah Misbah yang merupakan santri langsung dari Hadratussyeh K.H Hasyim Asyari sewaktu mondok di Pesantren Tebuireng. Dari pertemuannya sebagai seorang santri dari ulama besar di tanah jawa inilah yang mempengaruhi pemikiran Mbah Misbah dalam menulis dan acap kali dijadikan rujukan dalam menulis.
Setelah itu beliau berangkat menimba ilmu di Mekah untuk memperdalam ilmu agamanya. Kemudian pulang dan pada tahun 1940. Sesampai di Nusantara lantas beliau menikah dengan Nyai Nasihah putri K.H. Ahmad Ridwan dari Bangilan. Hingga kemudian membangun masjid dan pondok pesantren.
Dengan keilmuawan yang mumpuni, pondok pesantren Al-Balagh mengalami perkembangan pesat. Santrinya tidak hanya dari Tuban, melainkan banyak dari luar kota.
Dengan kesibukan mengajar ngaji dan ngurus para santri, beliau tidak pernah meningalkan buku. Tidak ada waktu luang bagi Mbah Misbah. Waktu luang baginya adalah kesempatan untuk menulis.
Karya tulisnya sebagian besar adalah karya terjemahan dalam bahasa Indonesia ataupun arab pegon. Arab pegon adalah tradisi pesantren yang tetap beliau lestarikan sebagai bentuk dari budaya pesantren.
Karya-karya Mbah Misbah yang terkenal diantaranya adalah tafsir Al-Iklil Fi Ma’anit Tanzil, Tafsir Tajul Muslimin, juga terjemaha dari tafsir Jalalain dan lain-lain. Dalam bidang Fiqih beliau menulis Aqimus Sholah, Masailul Janaiz wal Barzah (terjemahan kitab tauhid dan aqidah yang dipelajari santri pemula), terjemahan Safinatun Najah, Al-Muhadhab dan banyak kitab-kitab karangan atau terjemahan beliau yang diterbitkan oleh penerbit Balai Buku Surabaya.
Dari karya-karyanya beliau adalah sosok yang tidak hanya menekuni satu bidang ilmu saja. Namun, segala bidang ilmu dipelajarinya. Sehingga mampu menulis karya hingga sebanyak itu. Yang menggolongkan beliau sebagai satu diantara ulama-ulama di tanah air yang paling produktif. (*)
Sumber:
Misbah Mustofa, Salat dan Tata Krama, Al-Misbah: Tuban, 2006. Sampul belakang.
Perbincangan dengan Alm. Kiai Nafis Misbah (putra ke-3 K.H. Misbah Mustofa) Jumat 25 November 2016. (tiga hari sebelum Kiai Nafis wafat)
Ahli sejarah, Alumni UIN Sunan Ampel