Minggu malam tim Ki Ageng Ganjur ditraktir Pak Kiai Hasyim, Rois Syuriah PCI NU Belanda, makan malam di restoran Infonesia, “Depot Pojok”. Restoran milik Pak Tokan Machsun yang asal Tulungagung ini menyediakan menu khas Indonesia; sate, gule, rawon, gado-gado, soto, ayam goreng, tahu telur, iga bakar dan menu lainya.
Ornamen restoran yang khas Indonesia, foto-foto, sangkar burung yang bergelantugan sampai ukiran dan musik yang bernuansa Indonesia membuat suasana Indonesia sangat terasa.
Restoran ini terletak di kawasan Achipel, Den Haag, tepatnya di Jalan Bangka 97. Menurut cerita Pak Hasyim, kawasan Archipel yang sering dikenal dengan Haagse Archipelbuurt merupakan kompleks para ekspatriat Belanda yang pernah bekerja di Indonesia pada era kolonial (ambtenaar).
Setelah Indonesia merdeka, terutama saat Bung Karno melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia, terjadi pemulangam besar-besaran ekspatriat Belanda ke negerinya.
Ketika sampai di Belanda para expatriat tersebut meminta kepada pemerimtah kerajaan Belanda, Ratu Wilhelmina, agar ditempatkan di sautu kompleks. Permintaan ini dilabulkan dan mereka semua di tempatkan pada daerah Archipeel. Untuk mengenang Indonesia mereka menamai jalan-jalan di daerah tersebut dengan nama daerah di Indonesia misalnya Jalan Madura, Jalan Riau, Jalan Bali dan sebagainya.
Ada cerita menarik dari Pak Hasyim mengenai kehidupan para mbok-mbok pembantu rumah tangga dari Indonesia yang dibawa oleh para ekspatriat ke negeri Belanda. Menurut cerita pak Hasyim, para mbok-mbok pembantu tersebut dibawa ke Belanda karena banyak anak-anak ekspatriat yang memiliki hubungan emosional dangan para mbok yang telah mengasuh dan merawatnya.
Anak-anak ini tidak mau dipisahkan dengan mereka. Selain itu para mbok ini juga sudah dianggap keluarga oleh para ekspatriat. Hubungan emosional inilah yang membuat para mbok merelakan diri berpisah dengan keluarga di Indonesia untuk ikut pindah ke Belanda.
Ketika sampai di Belanda, para mbok ini tetap meneruskan kebiasaan memasak kuliner Indonesia untuk ndoro atau tuannya yang suka masakan Indonesia. Inilah yang menjadi cikal bakal kuliner Indonesia berkembang di Belanda.
Para anak ekspatriat yang menjadi asuhan para mbok ini juga akhirnya familiar dengan kuliner Indonesia. Banyak diantara mereka yang sekarang menjadi tokoh politik dan pemimpin. Salah satu anak asuh para mbok Indonesia yang jadi tokoh adalah Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda saat ini. Karena pernah diasuh para mbok, maka PM Rutte suka masakan Indonesia.
Karena sudah dianggap sebagai keluarga, para mbok ini juga diberi kebebasan menjalankan tradisinya sebagai orang Jawa, misalnya melakukan slametan, ruwatan, sajenan dan berbagai ritual tradisi lainnya. Mereka melakukan ini semata-mata menjaga tradisi leluhur, tanpa pretensi teologis karena rata-rata mereka berasal dari kalangan awam agama. Bahkan ritual tradisi yang mereka jalankan tersebut cenderung mistis.
Pada awal dekade 70an ketika beberapa mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) yang ada di Mesir masuk ke Belanda, diantaranya Gus Dur, Pak Hambali, Pak Naf’an, Pak Danun dll, tradisi yang dibawa mbok-mbok dari Jawa ini diberi sentuhan teologis dan nilai Islami. Tradisi slametan, sesajen dan sebagainya diisi dengan bacaan yasin, tahlil, shalawatan dan sejenisnya.
Di sini terjadi proses akulturasi antara tradisi Jawa yang dibawa mbok-mbok sebagai kerangka atau wadah dengan spirit dan nilai Islam sebagai isi.
Cerita Pak Pasyim ini menarik karena menjadi petunjuk awal bagaimana mbok-mbok yang menjadi pembantu para ekspatriat Belanda di Indonesia ternyata bisa menjadi agen dalam penyebaran budaya Nusantara di negeri Belanda. Meski posisi dalam strata sosial para mbok ini berada pada level bawah namun ternyata mereka bisa berperan secara strategis sebagai jembatan budaya yang menghubungkan antara Indonesia (Timur) dan Belanda (Barat).
Informasi mengenai kehidupan mbok-mbok ini menarik untuk didalami dan dikaji. Bagaimana para mbok ini memgalami mobilitas sosial secara vertikal sehingga bisa membangun jembatan budaya Timur-Barat dengan mengembangkan tradisinya di negeri Barat modern seperti Belanda? Apa yang dilalukan para ndoro tuan terhadap para mbok yang notabene adalah pembantu mereka namun bisa berperan dalam transformasi budaya sebagaimana tercermin dalam diri para anak eksprstriat yang diasuhnya? Pertanyaan yang selalu menggelayut dalam pikiran menjelang pulang ke Indonesia.
Budayawan