Tidak ada yang lebih baik dari kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup, karena hakikatnya tujuan manusia ialah hidup tentram dan aman. Terhindar dari segala marabahaya yang dapat merengut nasib, keturunan, harta benda, kewarasan dan ketakwaan.
Kerusakan lingkungan yang masif dapat menyebabkan banyak mudhorot, salah satunya hilangnya sisi kemanusiaan. Seperti kala air sudah menipis, hanya tersisa satu sumber saja, pasti kita akan berlomba bahkan rela menyakiti orang lain demi air tersebut.
Maka kaidah fiqh, “Darul mafasid muqoddamu ala jalbil masholih,” dapat dimaknai mengutamakan dampak daripada manfaat. Artinya setiap hal yang bisa berdampak buruk hingga pada taraf dharar (menimbulkan bahaya) harus dihindari, walau itu membawa manfaat.
Karena manfaat yang diberikan tidak sebanding dengan kerusakan yang dihasilkannya. Misal kita menilai, apakah industri ekstraktif baik? jikalau ia akan berdampak dengan tereduksinya fungsi alam, hingga hilangnya air, tercemarnya udara sehingga mempengaruhi hidup manusia, maka ia masuk dalam dharar, artinya harus dihindari atas pertimbangan dampak yang lebih besar.
Apalagi selain dampak lingkungan, ternyata juga berpengaruh pada kemanusiaan. Alih fungsi kawasan tentu berdampak pada ekosistem secara luas. Seperti hilangnya satu ekosistem, berdampak pada hilangnya mata pencarian seseorang. Kala seseorang itu tidak mampu alih konversi kerja, maka ia tidak bisa memenuhi hajat hidupnya, lalu munculah kejahatan. Artinya dampak dari perampasan ruang, berdampak pada hilangnya kewarasan hingga matinya nurani.
KH. Sahal Mahfudz (1994, hal 105) menjelaskan dalam nuansa fiqh sosial, bahwa setiap manusia pasti mempunyai kebutuhan, maka alam telah menyediakannya untuk kehidupan.
Menggunakan dan memanfaatkan alam harus disertai pelestarian, disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan. Selanjutnya kebutuhan dibagi atas prinsip dlaruri (primer) atau bersifat hajji (mendasar) dan sekunder. Semua bisa ditakar berdasarkan kebutuhan hidup manusia, bukan diada-adakan dengan dalih memenuhi syahwatnya saja.
Lebih jauh Kyai Sahal (1994, hal 259-262) mengungkapkan, keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup serta seluruh aspek kehidupan, merupakan kunci dari kesejahteraan. Maka penting kiranya melihat bahwa pembinaan (pendidikan) dan pelestarian lingkungan hidup merupakan jalan penting untuk menuju kesejahteraan hidup.
Ini relevan dengan prinsip maqoshid syariah atau dasar-dasar hukum berdasarkan tujuan, ada lima prinsip atau umum disebut al khulliyat al khamsah, yakni hifzd al din (agama), hifzd al nafs (jiwa), hifzd al aql (akal, kewarasan), hifzd al nasl (keturuanan, generasi mendatang) dan hifzd al mal (harta benda).
Semua relevan jika kita merujuk pada konteks mengapa penting lingkungan hidup itu. Semua relasional dengan agama dan kemanusiaan. Sebab itu, prinsip mengutamakan dampak daripada manfaat sangat logis. Perlu kita melihat lagi, apa guna hidup jika tidak sejahtera yang berkelanjutan. Meski pendapat meningkat, emas menumpuk, tapi air susah, hingga pangan susah, maka kebahagiaan akan susah diraih.
Kita sudah merasakan betapa air kita mulai menurun, baik kuantitas maupun kualitas, memang berhemat itu penting, tetapi bagaimana akar masalahnya? Perlu juga dibahas, tidak sekedar berhemat tapi tak tahu masalahnya.
Kadang kita merasakan dampak secara langsung, mengapa di masjid-masjid kita mulai memakai banyak pendingin ruangan atau AC. Bukan hanya sebab kemodernan, tapi juga kebutuhan.
Ibadah kita terusik karena adanya peningkatan suhu, semua itu akibat dari perubahan iklim. Menurut penelitian suhu kita setiap tahunnya bertambah, dan hampir mencapai 1 derajat celcius ungkap IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).
Kita telah diingatkan dalam surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia (maksiat, melanggar perintah-Nya), supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka (dampak), agar mereka kembali (ke jalan yang benar, sesuai peringatan-Nya).”
Bukankah, tujuan kehidupan manusia itu satu? yakni menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Kyai Sahal telah menyatakan bahwa tujuan dari keseimbangan itu ialah sa’adatu al-darain, yang berarti kebahagiaan atau kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. (*)
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial