Suluk.ID
Saturday, May 17, 2025
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
Suluk.ID
Home Ngilmu

Moralitas Tokoh Agama (ulama’) Dalam Kitab Adabul alim wal muta’allim

by Shofiyul Burhan
January 26, 2020
in Ngilmu
Membaca Kembali Cara Kiai Hasyim Asy’ari Menghijaukan Daerah Hitam
Share on Facebook

“Adabul alim wal muta’alim” judul salah satu nama kitab buah karya monumental dari pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratus syeikh Hasyim Asy’ari. Kitab saku yang terdiri dari delapan bab ini menjadi rujukan Pesantren Nahdliyin dalam membangun moralitas pengajar dan santri(murid) dilingkungan pendidikan.

Berawal dari problematika yang dihadapi beliau di pesantren, dengan jumlah santri yang begitu banyak, secara otomatis sangat susah sekali mengingatkan berulang-ulang kesalahan akhlak dalam belajar. Alasan demikian mendorong beliau mengarang buah karya ini, agar pengajar dan santri memahami kriteria moral dan etika dalam mencari Ilmu pengetahuan.

Dalam muqoddimahnya beliau mencoba menganalogikan pentingnya moralitas. Bahwa moralitas menjadi substansi dari buah tauhid, keimanan dan syari’at seseorang. Apabila seseorang amoral perlu di pertanyakan tauhid, keimanan, dan syari’atnya. Semakin dalam keimanan dan syari’at seseorang akan semakin tinggi moralitas agama dan sosialnya, seakan kalimat ini sudah menjadi rumus pakem.

Sesuai dengan judulnya, pada bab pertama beliau menjelaskan tentang keutamaan cendikiawan(ulama’) dan ilmu pengetahuan. Ulama’ sebagai generasi penerus(pewaris) para Nabi, berarti mempunyai kewajiban bersikap sebagaimana yang di contohkan oleh para Nabi. Intelektualitas yang dimiliki mampu menciptakan peradaban dan moralitas bagi umat.

Kemuliaan, ketakwaan, dan derajat luhur merupakan predikat khusus yang diberikan Allah baginya, sebagaimana terekam dalam surat Al mujadalah:10 dan Al Fathir:28. Cendekiawan(ulama’) ibarat seperti Bintang ditengah kegelapan, yang selalu menjadi pengayom dan penerang tanpa memandang status sosial.

Produktifitas cendekiawan(ulama’) juga disinggung beliau di Bab pertama dan terakhir. Karya cendekiawan(ulama’) dalam bentuk artikel, makalah dan buku menjadi jariyah yang akan diperhitungkan dihari kelak. Yang lebih terpenting sebelum dipublikasikan hendaknya penulis mengedit, meneliti kembali dan menyusunya secara sistematis.

Di bab yang sama, beliau memberikan tamparan keras bagi seseorang yang tidak cakap menyusun karya tulis namun memaksakan dirinya untuk menulis, atau secara konteks menyusun karya tulis namun tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya cendekiawan yang tidak cakap sejarah, kemudian memaksakan dirinya menulis tentang sejarah. Maka tulisanya akan menjadikan kebodohan berjamaah dan penipuan karya tulis, andaikan karya tersebut di publikasikan.

Kriteria ulama’ yang rekomended untuk dijadikan sebagai teladan juga disinggung Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Mencari figur seorang ulama’ yang dijadikan sebagai pendidik harus selektif, lebih-lebih yang berkaitan tentang masalah hukum agama. Apabila salah dalam memilih, bisa jadi ilmu yang didapat akan menjadi bomerang bagi dirinya bahkan orang lain.

Ulama’ yang berbudi luhur, bersikap tenang, bijaksana, disertai dengan kualitas keilmuan yang teruji menjadi pilihan utama. Pada masa Imam syafi’i, fit and proper test seorang ulama’ sudah mejadi kebiasaan. Forum-forum debat ilmiyah biasa di adakan oleh institusi Negara.

KH. hasyim Asy’ari melarang berguru kepada tokoh agama(ulama’) yang memahami ilmu hanya lewat isi yang tersurat dalam teks(tekstualis), dan bukan termasuk figur yang mempunyai tingkat kecerdasan yang mumpuni. Apalagi hanya sebatas ulama’ yang di lambungkan oleh media, tanpa diketahui sanad keilmuannya.

Ulama’ yang serba bisa, dan selalu mampu menjawab permasalahan yang diajukan, juga tidak layak untuk dijadikan sebagai teladan. Harus berani menjawab “saya tidak tahu” apabila belum menemukan jawaban yang tepat. Bukan menjawab sebisanya untuk menutupi kebodohannya.

Sekaliber Imam syafi’i saja pernah menjawab”saya tidak tahu” disaat Muhammad bin Hakim bertanya tentang konsekwensi nikah mut’ah.

Jawaban” saya tidak tahu, atau saya belum tahu” tidak menurunkan derajat tokoh agama(ulama’) sebagaimana penilaian orang-orang bodoh. Namun akan meninggikan derajat, jawaban ini sebagai pengakuan bahwa kemampuan akademik seseorang sangatlah terbatas.

Figur ulama’ yang memandang umat dengan sikap kasih sayang, lemah lembut, juga tidak lepas dari pembahasan beliau. Pada bab kelima, beliau menjelaskan secara khusus sikap yang seharusnya menjadi teladan.

Sebagai pewaris Nabi, Berwajah teduh, berseri-seri, ceria, selalu memaafkan, tidak mudah marah, mengabdikan diri untuk kepentingan Umat, dan berbelas kasih kepada kaum mustad’afin sepatutnya menjadi kepribadian tokoh agama(ulama’).

Kesalahan yang dilakukakan seseorang, tidak lantas menghakimi dan mencaci makinya. Melainkan dijadikan ladang pahala, dengan cara menasehati dan mengarahkan dengan sikap lemah lembut. sebagaimana sikap Nabi terhadap a’roby(orang desa) yang kencing di Masjid, dan Mu’awiyah bin hakam ketika sholat berbicara.

Shofiyul Burhan
Shofiyul Burhan

Aktivis NU dan pembina BEM Ma’had Aly ponpes MUS sarang tinggal di Tambakboyo Tuban

Previous Post

Siapa Bilang Tawassul Tidak Ada Dasarnya, Simak Dasar dan Makna Tawassul

Next Post

Selamat Harlah ke 94, Humor itu Penting Bagi NU

Related Posts

Pandangan NU Tentang Tadabbur Alam

Pandangan NU Tentang Tadabbur Alam

by Redaksi
May 12, 2025
0

Tadabur alam merupakan bentuk perenungan mendalam terhadap ciptaan Allah SWT yang mengajak manusia untuk menyadari kebesaran dan keagungan-Nya. Dalam tradisi...

Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia

Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia

by suluk
May 4, 2025
0

Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu atau mengisi kepala anak dengan pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia....

Membaca Optimisme Masa Depan Pendidikan Indonesia

Membaca Optimisme Masa Depan Pendidikan Indonesia

by Mukani
May 1, 2025
0

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 ini mengambil tema Partisipasi Semesta, Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua. Sejak era Presiden...

Mbah Canthing Sebagai Lurah Pertama Desa Mlorah

Filosofi Nyadran dan Akulturasi di Desa Mlorah

by Mukani
April 24, 2025
0

Tradisi nyadran di Desa Mlorah Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk tahun ini digelar hari Jumat Pahing, tanggal 25 April 2025. Ini...

Next Post
Selamat Harlah ke 94, Humor itu Penting Bagi NU

Selamat Harlah ke 94, Humor itu Penting Bagi NU

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sosial Media

Terkait

Perspektif Humanis dari Dr. Dzinnun Hadi dalam Bincang-Bincang Wanita Karir

Perspektif Humanis dari Dr. Dzinnun Hadi dalam Bincang-Bincang Wanita Karir

May 15, 2025
Sejauh Kaki Melangkah, Aku Akan Akan Kembali

Sejauh Kaki Melangkah, Aku Akan Akan Kembali

May 14, 2025
Membangun Komitmen dan Menebar Berkah: Refleksi Dr. Mutrofin tentang Peran Wanita Karier di Era Modern

Membangun Komitmen dan Menebar Berkah: Refleksi Dr. Mutrofin tentang Peran Wanita Karier di Era Modern

May 14, 2025
Suluk.id - Merawat Islam yang Ramah

Suluk.id termasuk media alternatif untuk kepentingan dakwah. Dengan slogan Merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan.

Suluk.ID © 2025

  • Redaksi
  • Tentang
  • Disclaimer
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan

Suluk.ID © 2025