Itulah yang kerap ditudingkan ke aku. Cecil anakku juga pernah ditanya hal sama oleh kawan SDnya yang dititipi pertanyaan oleh ortunya. Kebetulan ortunya berteman denganku di FB dan tahu aktifitasku. “Yo gak popo se. Teman ayahku memang banyak yang pendeta kok,” begitu kira-kira jawab anakku.
Sebagai santri, aku dididik tidak boleh menolak jika diminta berbagi gagasan oleh siapapun. Sedapat mungkin harus hadir. Dikasih bisyaroh (viatikum) atau tidak; naik pesawat atau numpang ojek; di masjid atau gereja, sepanjang masih kuat berangkat, maka aku akan berangkat.
Meski demikian, tidak semua “mampu” mengundangku. Materi diskusiku kerap membutuhkan kedewasaan dalam bersikap karena cenderung blak-blakkan. Opo anane.
Dalam isu toleransi antaragama, aku kerap mengkritik model berislam yang tidak peka, jaim, dan tunasensitifitas terhadap agama lain –terutama Kristen. Posisiku ini tentulah tidak mengenakkan di banyak kalangan elit Islam. Belum lagi jika ditambah posisi afirmasiku terhadap hak-hak kelompok minoritas gender dan seksual. “Ojo idek-idek Aan Anshori,” begitulah yang aku dengar dari teman GUSDURian saat ia diwanti-wanti para tetua ketika tahu ia kenal denganku.
Posisiku yang cenderung apa adanya dan mendorong perlunya reformasi teologi Islam yang lebih inklusif nampaknya menarik perhatian kalangan gereja. Mereka rupanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Kristen-Islam Indonesia dalam dua dekade terakhir ini. Keingintahuan ini sangatlah wajar mengingat mereka juga ingin terlibat dalam inklusifitas ini.
Jujur saja, ada banyak sarjana Islam yang ilmunya jauh lebih mumpuni ketimbang aku. Namun tidak semuanya bisa bertahan lama dalam gereja dan duduk berdampingan dengan salib. Maksudnya begini, tidak semua sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia siap menerima kenyataan dirinya difoto di dalam gereja, bersama salib, kemudian diunggah ke media sosial.
Kenapa tidak siap? Sebab foto denga pose tersebut punya konsekuensi yang tidak ringan. Ia dan keluarganya berpotensi akan dirisak. Karirnya bisa rusak. Nasibnya kemungkinan besar masuk “kotak,”
Dan yang paling berat, ia harus siap dilabeli sebagai muslim KW karena pernah berfoto di gereja. Aspek “conformity in group,” merupakan isu penting dalam kehidupan personal banyak orang. Aku sangat paham itu.
Namun, dalam konteks undangan diskusi, ibarat pengemudi ojel online, aku harus siap mengantar penumpang, siapapun mereka, bahkan makhluk adikodrati sekalipun. Tanpa membedakan pelayanan.
Dan kebetulan saja, selama Agustus ini, aku memang lebih sering mengunjungi gereja. Setelah hinggap di GKJ Tuntang Timur, GKJ Tlogo, GKJ Danukusuman, GKI Sangkrah, dan GKI Masaran, kini aku diminta berdialog dengan wargo GKJW Sumbergondang, GKJW Mojokerto, dan GKJW Sukorame.
Semakin KW saja kemuslimanku.
Adakah yang mau ngopi dengan muslim KW ini di acara nanti?