Saya bangun agak siang saat itu. Sebab, usai subuh hawa masih dingin. Jadi, memilih tidur kembali sepertinya itu langkah yang baik. Suara ketua KPPS di sebelah kontrakan membuat saya terbangun. Namun, dua teman masih tertidur pulas. Mungkin dia capek.
Keluar kontrakan, suana pasar dekat kontrakan sudah tak ramai lagi. Warga sudah terpusat di balai desa. Mereka ha ha hi hi setelah keluar TPS. Memasuki TPS, suasana sepi. Saksi tinggal beberapa saja. Bahkan, ada saksi yang telat datang setelah pemilihan dimulai.
Semalam, kata orang-orang makam dan beberapa tempat kramat cukup ramai. Padahal bukan malam Jumat. Mungkin karena sisa lebaran saja tempat-tempat itu menjadi ramai.
Hari ini, pemilihan telah usai. KPU telah melakukan rekapitulasi. Siapa memperoleh suara terbanyak sudah diketahui. Pemilik suara legeslatif pun sudah diketahui pula.
Di Jatim, Jateng dan Jabar beberapa Kiai ikut terlibat dalam pesta demokrasi ini. Termasuk di beberapa kota. Jatim dan Jateng menjadi daerah yang cukup kuat untuk menyeret Kiai dalam pusara politik. Bahkan, di beberapa partai ada seorang kiai yang terlibat aktif dalam struktural.
Ini sudah menjadi fenomena yang tak perlu diulas. Sebab, semua sudah mengulas keterlibatan kiai dalam kontes politik untuk merebut kekuasaan. Dalam sejarah pemilu pun tak pernah meninggalkan kiai.
Sejak awal kiai ikut terlibat dalam prosesnya. Hanya, kemungkinan ada beda pemilu dulu dengan pemilu sekarang. Apa bedanya, kata orang, dulu terlibat di partai itu urusan ideologi. Sekarang, katanya, sudah tidak jaman. Entahlah.
Kiai telah menjelma menjadi magnet. Untuk menggaet suara-suara rakyat. Pengaruh kiai diharapkan dapat membantu memenangkan salah satu pasangan calon. Beda-beda caranya, ada yang blak-blakan menjadi tim dalam proses pemenangan.
Ada yang masih malu-malu, tapi di detik terakhir sudah berkomentar dengan menggunakan bahasa tubuh dan kode-kodean dalam bahasnya.
Kini, pemilihan telah berlangsung. Nama setiap kiai akan dipertaruhkan. Siapa calon yang menang. Dan, siapa kiai yang ada di belakangnya.
Bisa saja, kiai yang menang akan semakin dipercaya politisi karena doanya manjur. Bisa juga dianggap oleh sebagian masyarakat kiai kok ikut-ikut politik. Jika kalah bagaiamana? Apakah masyarakat akan bilang.
“Wah kiai ini tidak manjur doanya. Calonnya saja tidak menang,”
Semoga masyarakat tidak alergi dengan kiai-kiai yang terlibat dalam politik. Semua penyataan itu bisa muncul di permukaan.
Persepsi masyarakat terhadap kiai tak bisa dibendung. Semoga saja tidak menjadi keyakinan di masyarakat.
Kiai memang punya hak untuk terlibat dalam politik. Bahkan, dalam urusan proses pemenangan calon sekalipun. Namun, semua akan menilai apakah langkah politik kiai itu.
Kini pemilu telah selesai. Lebih baik kiai yang dulu berselisih dan berbeda pandangan politik, bisa duduk sila bersama di karpet hijau. Dengan jamuan nasi uduk dan sambal srondeng.
Kelak masyarakat akan tahu, jika cara kiai dalam berpolitik berbeda dengan mereka yang politisi murni. Kiai bisa menunjukkan ke umat jika politik adalah bagian dari cara bersikap. Berbeda pandangan boleh. Tapi, saling sikut jangan. Berbeda pilihan boleh, tapi saling hantam jangan.
Pesta demokrasi telah usai dengan ditetapkannya salah satu pasangan calon sebagai pemenangan. Kiai manapun yang telah berdiri di barisan depan setiap calon sekali lagi, monggo mulai merapat. Bergandeng bersama.
Selain itu, lebih bijak jika para kiai kembali umat. Kembali ke musala. Mari berdamai.(*)
Redaktur suluk.id