Dua hari ini saya banyak menerima koreksi. Terkait tulisan saya yang di dalamnya terkandung kata khusnul khatimah. Sudah menjadi kebiasaan saya menulisnya dengan ejaan itu Khu dan Kha. Bukan Husnul.
Sebenarnya saya tak masalah dikoreksi. Saya suka. Karena tata bahasa yang baik dan benar adalah kunci tulisan semakin enak dibaca.
Masalahnya dalam koreksi teman-teman itu bukan pada tata bahasa yang baik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tapi yang dikoreksi soal arti. Mereka menyebut, khusnul dan husnul artinya beda. Kalau Khusnul artinya hina kalau Husnul artinya baik.
Perdebatan ini sebenarnya sudah jadi pembahasan lama. Sebelum ini saya juga sempat dikoreksi. Tapi berhubung saya orang usil. Bukan saya perbaiki menjadi husnul, saya ganti jadi cusnul. Biar sekalian teman saya itu kesal. Hehe.
Atas koreksi teman-teman itu jujur saya tak suka. Saya terkesan sebel dan menurut saya teman-teman saya itu norak. Mempermasalahkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Baik orang menuliskan Khusnul Khatimah atau Husnul Khatimah. Karena maksud tulisan itu merujuknya juga ke kalimat yang sama yakni حسن الخاتمة.
Bagi saya penulisan huruf arab ke bahasa Indonesia itu tidak ada benar dan salah. Karena beda. Saya ingat dulu waktu masih ngaji maknani (memberi makna di kitab kuning) dengan huruf pegon (huruf arab jawa). Ustad saya mengatakan, ”Gak usah kuwatir salah, huruf pegon iku nggak ada yang benar dan salah, yang penting kamu bisa baca dan ngerti artinya itu sudah bener.”
”Beda lagi kalau bahasa arab, harus sesuai pakem Bahasa Arab jangan merubah satu huruf atau satu titik artinya susah berbeda,” tambahnya.
Dari penjelasan beliau saat itu menjadi patokan bagi saya. Bahwa penulisan dalam Huruf Indonesia untuk menuliskan kalimat arab itu tak masalah. Asal arti dan maksudnya sama.
Ini saya dalam hal arti dan maksud tulisan lho ya. Berbeda kalau tulisan secara baik dan benar di KBBI atau Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Maka berda lagi. Itu soal penulisan.
Saya mengkoreksi dari teman-teman ini adalah yang dengan percaya dirinya menyebutkan bahwa Khusnul itu artinya menghinakan. Saya sangat tersinggung.
Masalahnya apa. Jika tulisan Khusnul itu menghinakan. Bagaimana dengan ribuan nama Khusnul Khatimah yang sangat umum ditulisa di KTP warga Indonesia. Ternyata artinya buruk semua.
Maka saya mengatakan pendapat tentang Husnul yang dianggap tepat itu tidak benar. Kalian saja yang baru muncul dan tiba-tiba menyalahkan. Sok pinter.
Itu pendapat saya, mungkin saja salah. Untuk memastikan pendapat saya benar atau tidak. Saya menghubungi Kiai Muda dari Bojonegoro.
Beliau Bernama Kiai Abdur Rozaq. Alumni Pondok Pesantren Sunan Drajat. Alumni Madrasah Mualimin Mualimat (MMA) Sunan Drajat. Alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Arab di Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) dan Alumni Paska Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab juga.
Yang lebih top lagi, beliau ahli nahwu shorof. Jadi sangat pas saya ajak membahas ini.
Dalam perbincangan santai itu Gus Rozaq, sapaan akrabnya, beliau menjelaskan, berbicara tentang fenomena tulisan Khusnul atau Husnul harus dilihat dari berbagai aspek.
Pertama, tak bisa disamakan penulisan abjad Arab dengan abjad Indonesia. Itu pasti ada perbahan penulisan dari Arab ke Indonesia. Apalagi memang abjad juga. Tentu penyebutannya juga berbeda.
Dan memang dalam pengalihan abjad bahasa Arab ke bahasa lain. Termasuk Indonesia itu ada namanya transliterasi. Yang dibakukan. Itu berlaku se Asia Tenggara.
Hanya saja tulisan yang wajib ikut pakem transliterasi ini adalah tulisan yang sudah masuk dalam level penulisan karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah itu seperti skripsi, tesis atau jurnal.
Kalau tak pakai maka akan disalahkan. Karena karya tulisan itu adalah tulisan yang serius di dunia. Maka sedetail mungkin harus benar sesuai pakem yang ada.
Makanya pakar bahasa se Asia Tenggara. Memutuskan trasnliterasi yang di pakemkam dari ا sampai ي mengunakan abjad apa dalam bahasa Indonesia atau negara lain di Asia Tenggara.
Sementara, jika mengutip bahasa asing yang belum menjadi bahasa baku Indonesia harus di tulis miring dan pronunciation harus sesuai transliterasi itu. Supaya yang baca tahu artinya. Jangan sampai ada ambiguitas.
Sedangkan jika untuk non karya ilmiah. Adapun karya non ilmiah, seperti nama, atau tulisan ringan. Itu tak masalah. Tak ada kewajiban tentang transliterasi. Seperti kata Khusnul Khatimah. Yang memang secara transliterasi kalimat yang benar adalah Husnul Khatimah.
Hanya jika ada yang menulis Khusnul ditulisan non karya ilmiah itu tak masalah.
Yang penting dalam tulisan non ilmiah itu kita tahu maksunya itu ya حسن الخاتمة .
Kedua, terkait makna. Bahwa benar kalimat Khusnu خسن itu artinya menghinakan? menurutnya memang benar itu artinya hina.
Tapi jika saat kalimat itu berdiri sendiri. Kata itu cuma Khusnu tak disambungkan dengan kalimat lain.
Tapi ketika digabungkan dengan kalimat lain dengan digabung dengan kalimat Khusnul Khatimah خسن الخاتمة dan diberi arti akhir yang hina itu tak benar.
Sebab dalam kebiasaan orang arab sendiri tidak pernah ada pengucapan seperti itu. Yakni Khusnul Khatimah خسن الخاتمة. Jadi kata itu tidak lazim. Kalimat خسن itu digandengkan dengan kalimat lain. Tak pernah digunakan.
Kalau orang arab yang lazim atau biasa digunakan untuk arti akhir tidak baik adalah سوء الخاتمة .
Jadi jika umum di masyarakat kita menyebutkan Khusnul Khitimah itu tak masalah. Itu maksudnya adalah حسن الخاتمة . Ini hanya pronunciation atau pengucapan masyarakat kita saja yang memiliki kebiasaan pakai K.
Jadi baik penulisan Khunul Khatimah dan Husnul Khatimah itu sama saja. Yang artinya semoga arwahnya di akhir yang baik.
Maka tak perlu menyalahkan dengan mencari detail dengan mengartikan bahwa itu doa yang jelek. Karena menurut Kiai muda ini Tuhan itu menilai atau yang dihitung adalah apa yang ada di dalam hati bukan sesuatu yang nampak luar.
Begitulah perbincangan kami. Membahas arti Khusnul Khatimah. Semoga itu bisa membuka cakrawalah pengetahuan kita. Bahwa pengetahun itu ada banyak sisi. Jangan nilai dari satu sisi saja.
Jika berminat perbicangan dengan kiai muda ini. Komen apa yang perlu kami bahas ke depan. Terima kasih. Semoga bermanfaat. (*)
Alumni Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Kini menekuni dunia menulis dan peliputan berita.