suluk.id – Pagi tadi, sedih sekali mendengar kabar berpulangnya Romo KH. Agus Sunyoto melalui pesan grup WA maupun lini masa di media sosial. Seolah tak percaya, saya kemudian menanyakan ke beberapa teman yang mengenal dekat beliau, dan ternyata kabar duka itu memang benar adanya. Meski hanya pernah beberapa kali nunut ngaji sama beliau di pesantrennya, jujur saja saya sungguh merasa sangat kehilangan.
Bagaimana tidak, beliau merupakan salah satu sejarawan nusantara yang langka. Selain seorang yang alim dengan sudut pandang yang tajam, beliau juga sangat produktif melahirkan karya, baik berupa novel, buku, maupun berbagai ceramah. Beliau juga rajin memberikan pencerahan, termasuk dalam meluruskan sejarah. Tak heran jika beliau dipercaya sebagai ketua umum Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) PBNU.
Salah satu karya beliau yang monumental adalah Atlas Wali Songo, buku tentang sembilan wali yang pertama kalinya ditulis dengan pendekatan sejarah dan bukti-bukti ilmiah. Berbeda dengan cerita wali songo yang beredar selama ini yang cenderung lebih mengedepankan karomah dan muatan mistis yang sulit diterima di dunia akademis. Melalui buku itulah beliau mengungkap bahwa kerajaan Islam di nusantara yang berdiri pertama kali bukanlah Samudera Pasai di Aceh sebagaimana diketahui selama ini, tetapi kerajaan Islam Lumajang di Jawa Timur.
Dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad, beliau dengan detail disertai dokumentasi yang lengkap menceritakan kronologi perang Surabaya, momentum dicetuskannya resolusi jihad yang melatarbelakangi peringatan hari santri, juga peristiwa heroik pada 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Ciri yang paling menonjol dari Romo Agus (demikian para santrinya biasa memanggil) adalah kesederhanaan dalam hidup serta kegigihannya dalam berjuang. Sebagai tokoh yang cukup populer di kalangan pesantren, penampilan Romo Agus biasa-biasa saja. Beliau sangat rendah hati, tidak menggurui, mudah bergaul dengan siapapun, enak diajak ngobrol, termasuk lebih dulu menyapa dan menanyakan “santri baru” seperti saya.
Saksi bisu kegigihan beliau dalam berjuang adalah berdirinya pesantren Tarbiyatul Arifin di Wendit, Malang. Di daerah yang muslimnya termasuk minoritas tersebut beliau merintis TK lebih dulu dibandingkan pesantren. Sebab, beliau merasa miris ketika melihat bocah-bocah kecil berjilbab keluar masuk rumah ibadah umat lain dengan riang gembira. Ketika ditanya, kenapa kok seneng banget? Anak-anak itu dengan polosnya menjawab, karena di situ ada banyak mainan dan tempat bermain di halamannya.
Akhirnya Romo Agus mendirikan TK dan TPQ untuk anak-anak, sambil merintis pesantren Tarbiyatul Arifin. Lucunya, ada beberapa orangtua non-muslim yang memasrahkan anaknya di TK ini, dan beberapa anak malah hafal surat-surat pendek. Inilah model dakwah yang dulu dilaksanakan walisongo, mengajak dan mengenalkan masyarakat kepada Islam dengan cara yang ramah, bukan justru memaksanya dengan jalan marah-marah.
Di pesantren ini, ketika Romo Agus tidak ada jadwal ke luar kota atau luar negeri, setiap malam minggu beliau biasa mengajak santrinya untuk ngaji sejarah atau membincang situasi terkini, lalu mengkajinya dari sudut pandang sejarah. Sesekali kadang pula memutar film dan mendiskusikannya bersama para santrinya. Penuturannya yang lugas dan jelas sangat memudahkan kami sebagai orang awam untuk memahaminya, meskipun kadang juga membuat kening kami berkerut jika disodori pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Di satu sisi, sering pula kami ngakak bareng dengan lontaran humor maupun sindiran beliau yang cukup mengena.
Kini, Romo Agus telah pergi meninggalkan kita semua. Perjuangan Panjenengan dalam dakwah Islam, sumbangsih karya dan jariyah ilmu pengetahuan yang sangat berharga akan menjadi saksi bahwa Panjenengan layak mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Selamat berpulang menuju keabadian. Lahul faatihah.
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban