Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Entah berapa juta kali kalimat itu kita ucapkan hingga detik ini, baik di dalam shalat atau di luar shalat.
Saat mengucap kalimat Allahu Akbar itu, apa yang kita bayangkan? Sebesar apakah Tuhan? Apakah sebesar gunung, sebesar bumi, atau matahari?
Dalam galaksi bima sakti saja, bumi tak lebih besar dari sebutir debu. Ada miliaran benda langit, planet, dan gugusan bintang yang besarnya ratusan atau bahkan ribuan kali lebih besar dibanding matahari.
Jika bumi sedemikian kecilnya dibandingkan jagat raya, lalu di manakah letak Indonesia, Jakarta, Tuban, Candi Borobudur, apalagi sepetak tempat pemungutan suara? Terlihatkah makhluk yang bernama manusia?
Di sisi lain, ada kehidupan lingkup mikrokosmos dan molekuler yang ratusan bahkan jutaan kali lebih kecil dibandingkan sebutir debu. Hebatnya, semua makrokosmos dan mikrokosmos itu tidak luput dalam kekuasaan Tuhan.
Artinya, Tuhan memang benar-benar Maha Besar, sebaliknya manusia amatlah sangat kecil. Dalam beberapa kitab klasik disebutkan, para wali Allah sering mengulang shalat beberapa kali, karena setiap mengucap kalimat Allahu Akbar saat takbiratul ihram, ia mendadak pingsan, tak kuasa membayangkan kebesaran Tuhan dibandingkan dirinya yang begitu kecil.
Sayangnya, kebanyakan manusia, termasuk kita sendiri, sering merasa lebih besar ketimbang Tuhan. Di saat mengucap takbir, bukan diri kita yang mengecil di hadapan Tuhan, tetapi justru diri kita yang merasa lebih besar, ego dan keakuan kita makin besar, hawa nafsu ikut membesar.
Karena merasa lebih besar dari Tuhan, maka manusia semakin sewenang-wenang, seolah mewakili kuasa Tuhan. Bibirnya bertakbir, tapi hatinya takabbur. Kurang iman apa iblis kepada Allah? Tetapi karena takabbur dan merendahkan Nabi Adam, iblis dilaknat oleh Allah.
Merasa paling pintar, paling tahu, mengkapling kebenaran, adalah contoh takabbur. Merasa paling mulia, kemudian dengan mudah menghina atau melecehkan orang lain, siapapun itu, adalah bentuk merasa diri lebih besar dari Tuhan.
Tak heran jika kemudian muncul perilaku memaksakan kebenaran versinya sendiri kepada orang lain. Jika perlu, sambil mengancam dan membawa pentungan. Mengajak bersabar, tetapi mata melotot sebesar telur dadar. Menyeru berakhlak, tetapi sambil berteriak-teriak.
“Bertaqwalah kamu kepada Allah, jika tidak, awas”.
“Ikutilah ajaran Nabi, jika tidak mau, awas.”
Lha, ini ustadz apa ndanramil?
Disarikan dari pengantar ngaji online Gus Mus, Kitab Akhlaqul Muslim: Alaqatuhu bil Mujtama’, dengan beberapa penyesuaian redaksi.
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban