Prinsipnya sederhana: orang kaya senantiasa menanamkan modal, orang miskin hanya menghabiskan uang dan sumber daya. Maka, berhati-hatilah dengan pinjaman, karena pinjaman itu bukan uang Anda.
Suluk.id – Politik uang, mahar politik, serangan fajar, bohirkrasi, tukang tadah, banggar, uang pelicin, uang administrasi, uang dengar, uang jasa anu, uang bersih-bersih, uang sup, uang terima kasih, uang teh, apel Malang, apel Washington, oli, semangka, Pustun dan Jawa Sarkia, daging mentah, bekisar, ayam pedaging, beli bedak, ramuan Madura dan beli parfum. Anda akrab dengan istilah-istilah itu?
Bagaimana dengan uang bawah meja, restitusi, kolusi, suap, kompensasi, kejahatan kerah putih, ganti rugi, uang ganti untung dan uang bantuan, uang segar, dana talangan, koin untuk anu, dana hibah, pinjaman lunak, kredit macet, likuidasi, priayisme, birokrasi neopatrimonial, politik dagang sapi, kotak nokia, tips, kantong sobek, dana liqo’, dana untuk ormas, serban baru, kurma lokal, kacang pukul, obat, bibit, ton pinang, sepukul dua ikat, merah biru kuning kasih sama, barang Singapura, Vodka, Chivas Ragal, pengajian, telur asin, kambing, sapi, anak jin, tina toon, windu, pakan kucing, kudapan pupus, ada obatnya dan sederet istilah kata sandi korupsi lainnya? Biarlah itu menjadi urusan orang-orang serakah yang tak kenyang-kenyang hingga 14 turunan. Namun demikian, semua itu berawal dari satu kata: uang.
Semua aspek kepakaran, ranah keterampilan, profesi dan dunia kerja, barang dan jasa, pendidikan, kebudayaan, kesenian, pemikiran, politik, ekonomi, sumber-sumber daya kehidupan dan belakangan ranah keagamaan juga berorientasi ke sana, ke uang. Adakah yang tak bisa dijual? Selama masih ada pembeli dan para makelar, selama para pialang dan kurator, selagi para pengasong, demagog, oligark, lintah, ular tikus, babi ngepet dan perselingkuhan kapitalisme-konsumerisme dengan hasrat berkuasa, selama itu pula yang dipertuan agung uang akan tetap bersimaharalela.
Satu-satunya orang yang lebih memikirkan uang dibanding orang kaya, adalah orang miskin. Namun demikian, teramat banyak manusia yang merasa tidak nyaman dan (apalagi) berdamai dengan uang, benarkah? Mari kita luruskan pandangan ini, Kisanak!
Betapa banyak di antara kita yang tumbuh besar, dewasa dan mulai menua dengan mempercayai bahwa, “kalau aku kaya, orang lain akan miskin; kalau aku kaya, aku dijauhi teman; tetangga yang kaya-raya itu angkuh dan sombong, pelit pula; uang hanya menyebabkan pertikaian dan konflik; kemiskinan ini membuat orang lain simpati kepadaku, bahkan Tuhan lebih mencintai orang-orang miskin.” Anda bisa menambahkan sederet pembodohan lainnya yang selama ini mengeram dalam tempurung Anda…
Anda tahu siapa yang menyebarkan isu dan doktrin murahan ini? Orang (bermental) miskin dan orang gila!
Kedengarannya memang gila ketika sebagian besar kita menolak menjadi kaya dengan berbagai alasan dan pembenaran. Nah, jika pandangan dan prinsip ini dibiarkan mengendap dan mengakar di alam bawah sadar, bersiaplah untuk miskin 14 turunan! Sebab, kita menjadi sangat terikat dengan apa yang kita percaya.
Acapkali, kita lebih memilih merasa bahagia dan benar dari pada menjadi kaya–lalu uang kita dapati sebagai musuh. Tatapi di saat yang sama, hutang disebar di mana-mana dengan metode “tebar jala” dan “gali lobang” terus-terusan.
Prinsipnya sederhana: orang kaya senantiasa menanamkan modal, orang miskin hanya menghabiskan uang dan sumber daya. Maka, berhati-hatilah dengan pinjaman, karena pinjaman itu bukan uang Anda.
Waspadalah dengan pengeluaran kecil, sebab sebuah kebocoran kecil kelak akan menenggelamkan bahtera. Jangan berbelanja sesuatu semata-mata karena Anda mampu membelinya! Terlalu banyak orang membuang uang yang tidak mereka miliki, untuk membeli barang yang tidak mereka inginkan, demi mengesankan orang-orang yang tidak mereka sukai.
Tahukah Anda bahwa menjadi kaya jauh lebih gampang dari pada menjadi miskin? Caranya? Inilah bagian yang Anda tunggu-tunggu dari tadi, bukan? Uang, konon seperti anjing–saat Anda mengejarnya, ia lari kencang dan hanya memberimu kelelahan. Tentu saja, ujar-ujar ini sangat mungkin ditolak oleh para koruptor. Anda (baik ustaz, pengusaha anyaran maupun politisi amatir) harus ngaji ke para penguasa Orde Baru dan para penerusnya untuk tahu apa dan bagaimana kaya itu bisa dipertahankan sampai belasan generasi.
Jika Anda menganggap uang tidak penting, ia akan menggigit pantat Anda. Saat Anda nyaman dengan uang, maka ia akan tidur di pangkuan Anda. Bukankah Kitab Suci telah mengingatkan bahwa uang adalah majikan yang kejam dan pelayan yang baik? Ini sekali lagi tidak berlaku bagi para pengeruk kekayaan Negeri ini.
Jangan sekali-sekali bangga dengan apa yang Anda lakukan hari ini, sebab Anda tidak tahu apa yang akan diberikan hari esok!
Sejatinya, bukan miskin, uang dan kaya titik persoalannya. Permasalahannya adalah cara pandang kita terhadap kemiskinan dan kekayaan yang lamat-lamat menjadi prinsip dan karakter. Bukan situasi yang salah, tetapi sudut pandang tentang situasi, bukan pula sudut pandang akan situasi yang keliru, tetapi keyakinan akan hal itu yang terus menghantu.
Sementara orang kaya menyewa jasa Akuntan untuk meyakinkan bahwa dirinya mulai miskin, si miskin malah menjadikan agama sebagai justifikasi untuk tetap miskin, sembari berharap ada undangan demo berjilid-jilid.
Tidakkah seharusnya kita meminjam uang di kala bisa, dan bukan di saat membutuhkan? Bukankah jasmani dan (lebih-lebih) rohani yang sakit membuat keungan tidak sehat dan tak lama kemudian seluruh hidup Anda berantakan? O ya, gaya dan standar asmara Anda juga sangat berpengaruh pada rekening Anda.
Anda tahu, sapi tidak memberikan susunya begitu saja, kita harus memerah setetes demi setetes. Nah, bagian tersulitnya bukan pekerjaan, tetapi memutuskan untuk bekerja dan menjadi kaya! Semoga kaya dan bahagia dengan tidak merusak sumber-sumber daya Negara. (*)
Penulis buku Nabi Muhammad bukan Orang Arab.