Suluk.ID
Sunday, June 1, 2025
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan
No Result
View All Result
Suluk.ID
Home Ngilmu

Kesalahan Tata Bahasa Arab Dasar di Masyarakat

by Nurul Fahmi
September 24, 2019
in Ngilmu
Kesalahan Tata Bahasa Arab Dasar di Masyarakat

Muslim people at conference vector illustration of Saudi Arabian man and woman in khaliji and hijab. Audience at business interview presentation and speaker on stage with infographic background

Share on Facebook

Sebagai orang yang tinggal di kampung, saya sering menghadiri acara tahlilan, manakiban, shalawatan, mantenan, sunatan dan an an lainnya. Barangkali Anda yang di kota juga sama. Sama-sama ikut merayakan acara “bid’ah” (hasanah) tersebut. Hehe.

Di forum tersebut tak jarang saya mendengar ceramahnya seseorang atau bacaan-bacaan dalam bahasa Arab yang terdengar kurang tepat secara kaidah. Terkadang saya kawatir kalau saya yang salah dengar. Tapi setelah saya dengar dengan seksama (inshat), kedengarannya memang kurang tepat.

Maka sebagai “The Santri” yang pernah sedikit mengaji tata bahasa Arab, saya merasa ganjel di hati dengan banyaknya ke-kurangtepat-an yang terjadi. Karena itu, saya akan tulis beberapa contoh kalimat atau kalam kurang tepat yang sering saya dengar (barangkali Anda juga pernah mendengar):

1. Mauidlatul Hasanah (dengan tarkib idlafi). Biasanya ungkapan yang kurang tepat itu sering terdengar dari MC / pembawa acara. Kalimat tersebut saya kira yang lebih tepat adalah Mauidlah Hasanah (موعظة حسنة) atau al-Mauidlah al-Hasanah ( الموعظة الحسنة) dengan tarkib na’at man’ut. Sesuai dengan artinya yaitu pitutur yang baik.

2. Akhinal Kiram. Kata “akhi” itu mufrad, sedangkan “kiram” itu jamak. Maka yang lebih tepat adalah “Akhinal Karim” (أخينا الكريم), sama-sama mufradnya.

3. Para Asatidz dan Asatidzah. Ungkapan itu sekilas kelihatan benar, tapi ternyata kurang tepat. Karena bentuk jamaknya “ustadzah” adalah “ustadzaah” dengan “dzaah” panjang. Jamak Muannats Salim. Jadi kalau kita berpidato, yang tepat adalah dengan mengucapkan “para asatidz dan ustadzaah” (اساتيذ استاذات).

4. Akhirul Kata. Lha ini namanya bahasa gado-gado. Arab dimudlafkan kepada Indonesia. Mungkin si pembicara ingin mengucapkan “Akhirul Kalam” atau “Akhir Kata” tapi keliru “Akhirul Kata”. Ruwet jadinya.

5. Wa Anta Hasbuna Allah. Ini juga tarkib yang membingungkan dalam bahasa Arab. Biasanya saya dengar itu dari pemimpin tahlil. Mestinya kalimat tersebut tidak bisa dibarengkan kesemuanya. Harus dijadikan dua jumlah/kalimat, yaitu “Wa Anta Hasbuna (وانت حسبنا)” saja (artinya: dan Engkau adalah dzat yang mencukupi kami) atau “Hasbuna Allah (حسبنا الله)” saja (artinya: Dzat yang mencukupi kami adalah Allah).

6. Lahumul Al-Fatihah. Yang ini Anda sudah faham kan kesalahannya? Walaupun kelihatannya remeh, tetap saja masih ada yang mengucapkan kalimat salah tersebut. Hemm.

7. Salamatan fiddinina wa afiyatan fil jasadina wa ziyadatan fil ilmina dst. Ibarat tali, ikatannya dobel, tali pati. Kalimat fiddini ( في الدين), fil jasadi (في الجسد) dan fil ilmi (في العلم) itu sudah makrifat kok masih ditambahi dlamir “na نا”. Maka tidak perlu ada tambahan “na”.

8. Ya wasi’ al karamin. Lho, sejak kapan al dan tanwin itu bergandengan tangan. Mereka itu ibarat Tom dan Jerry, musuh bebuyutan yang gak pernah akur. Jadi buanglah tanwin pada kata “al karamin”.

9. Was shalatu wassalamu ala alihi wa ashabihi ajmain. Sudah lebih dari sekali saya mendengar orang pidato seperti itu, ucapan salawat berbahasa Arab tanpa tujuan kepada Nabi. Barangkali ketika menghafalkan, teksnya ada yang hilang. Jadi gitu dech.. hehe..

Akhirul kata, eh, Akhirul kalam..

Saya jadi teringat ketika dulu ujian tesis di kampus. Ketika itu saya sempat bantah-bantahan dengan salah satu dosen penguji, karena beliau menyalahkan tarkib suatu jumlah (kalimat) yang saya tulis. Jumlah tersebut adalah “Hadza al-bahtsu muqaddamun linaili darajat al-majistir (هذا البحث مقدم لنيل درجة الماجستير)”.

Menurut salah satu penguji, untuk kata “darajat” yang benar diberi “al” menjadi “linaili al-Darajat al-Majistir”. Saya pun membantah, bahwa pemberian “al” itu kurang tepat. Karena kalau “darajat” diberi “al” maka tarkib kata “al-majistir” akan menjadi na’at/sifat. Dan itu kurang sesuai dengan kaidah naat-man’ut yang mana antara keduanya (naat man’ut) harus sesuai mudzakar atau muannatsnya. Maka kedua kata tersebut lebih tepat dijadikan mudlaf dan mudlaf-ilaih.

Tapi, dosen penguji tersebut tetap bersikukuh pada pendapatnya. Ya sudah, saya akhirnya mengalah. Lagi pula ngalah bukan berarti salah kan. (Biar nilainya tidak jelek. Hehe.) Setelah ujian, saya datang ke pembimbing dan menceritakan permasalahan tersebut. Dan dosen pembimbing membenarkan saya. Horeee.

Nurul Fahmi

Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban

Previous Post

Ringkasan Materi KH Marzuki Mustamar dalam MKNU PW ISNU Jawa Timur

Next Post

Tokoh-Tokoh NU Yang Terlupakan, Kader NU harus Tahu!! (1)

Related Posts

Kelas Akselerasi Mu’allimul Qur’an Metode Hanifa: Upaya Menstandarkan Bacaan Al-Qur’an Secara Komprehensif

Kelas Akselerasi Mu’allimul Qur’an Metode Hanifa: Upaya Menstandarkan Bacaan Al-Qur’an Secara Komprehensif

by Ahmad Misbakhul Amin
May 28, 2025
0

Dalam rangka meningkatkan kualitas bacaan Al-Qur’an sekaligus menyiapkan generasi pengajar yang kompeten di bidang tahsin dan tajwid, Komunitas Hanifa Darul...

Feminisme Dalam Bingkai Syariat: Mencari Titik Temu di Tengah Ketegangan

Feminisme Dalam Bingkai Syariat: Mencari Titik Temu di Tengah Ketegangan

by Ahmad Nur Fadhil
May 27, 2025
0

Suluk.id - Narasi feminisme dan agama sering kali bersinggungan di titik yang penuh ketegangan, terutama menyangkut isu-isu terkait hak perempuan...

Pandangan NU Tentang Tadabbur Alam

Pandangan NU Tentang Tadabbur Alam

by Redaksi
May 12, 2025
0

Tadabur alam merupakan bentuk perenungan mendalam terhadap ciptaan Allah SWT yang mengajak manusia untuk menyadari kebesaran dan keagungan-Nya. Dalam tradisi...

Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia

Menumbuhkan Manusia Merdeka: Menyatukan Gagasan Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire untuk Pendidikan Indonesia

by suluk
May 4, 2025
0

Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu atau mengisi kepala anak dengan pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia....

Next Post
Kiai Kiai NU yang dikupakan

Tokoh-Tokoh NU Yang Terlupakan, Kader NU harus Tahu!! (1)

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sosial Media

Terkait

Dibuka Pendaftaran Graduate Forum: Hadirkan Ilmuan Dalam dan Luar Negeri

Dibuka Pendaftaran Graduate Forum: Hadirkan Ilmuan Dalam dan Luar Negeri

May 29, 2025
Kelas Akselerasi Mu’allimul Qur’an Metode Hanifa: Upaya Menstandarkan Bacaan Al-Qur’an Secara Komprehensif

Kelas Akselerasi Mu’allimul Qur’an Metode Hanifa: Upaya Menstandarkan Bacaan Al-Qur’an Secara Komprehensif

May 28, 2025
Prabowo Subianto Dan Gagasan Kepemimpinan Islam : Dari Salahudin Al Ayubi Hingga Muhammad Al Fatih

Prabowo Subianto Dan Gagasan Kepemimpinan Islam : Dari Salahudin Al Ayubi Hingga Muhammad Al Fatih

May 26, 2025
Suluk.id - Merawat Islam yang Ramah

Suluk.id termasuk media alternatif untuk kepentingan dakwah. Dengan slogan Merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan.

Suluk.ID © 2025

  • Redaksi
  • Tentang
  • Disclaimer
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Home
  • Ngilmu
  • Pitutur
  • Kekabar
  • Panutan
  • Pepanggen
  • Kirim Tulisan

Suluk.ID © 2025