Masih tentang Lord Didi Kempot.
Kepergian Godfather of Broken Heart yang mendadak kemarin masih menyisakan duka bagi semua. Betapa tidak, kapan hari Didi Kempot masih segar bugar dan menggalang konser amal online peduli Covid-19 hingga memperoleh donasi sekitar 7-9 miliar.
Banyak sekali yang merasa kehilangan. Bukan hanya para sobat ambyar, tetapi juga para seniman, pejabat publik, tokoh masyarakat, pegiat kemanusiaan, jurnalis, dan hampir seluruh masyarakat Indonesia. Berjubelnya para pentakziah yang nekat datang di tengah wabah merupakan bukti bahwa Didi Kempot sangat dicintai banyak orang.
Tak perlu saya mengulas bagaimana perjalanan karir musik Didi Kempot hingga menjadi legenda. Saya justru tertarik membahas spirit yang diusung dalam lagu-lagunya, dan perdebatan para deterjen, eh, netijen sesaat setelah kepergiannya.
Lagu-lagu Didi Kempot sarat dengan ungkapan patah hati, kegalauan tak bertepi, hingga pedihnya dikhianati. Terlebih saat badai Covid-19 melanda dan para jomblo mengalami PSBB (Pernah Sayang Batal Berjodoh). Patah hatinya makin berkeping-keping.
Tapi di tangan Didi Kempot, patah hati disulap menjadi hiburan massal. Patah hati bersama itu ternyata banyak kawannya, bisa dirayakan secara kolosal, dan hanya di panggung konsernya Didi Kempot. Akhirnya, patah hati justru dihayati, dinikmati, dengan ikhlas pula.
Di sinilah asyiknya. Lagu-lagu Didi Kempot digemari seluruh lapisan sosial, menerabas sekat-sekat kehidupan, melintasi perbedaan suku, ras, hingga agama. Saking larutnya dalam kenikmatan, orang tidak ngurusi lagi Didi Kempot agamanya apa. Benar kata Gus Dur, tidak “penting” apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Tapi belakangan, entah siapa yang memulai, netijen berdebat mengenai agama Didi Kempot. Lalu menuduh yang bukan bukan, melempar narasi dan provokasi, kemudian menjelek-jelekkan agama tertentu. Di tengah suasana duka, perdebatan seperti ini jelas sangat mencederai rasa kemanusiaan.
Sejak memutuskan menjadi muallaf tahun 1997, Didi Kempot memang tidak banyak berubah, biasa saja, tetap berkiprah di jalur seni. Lord Didi cukup tahu diri, ia menjalani agama barunya tanpa hiruk pikuk publikasi.
Tak perlu pula alih profesi, naik mimbar menjadi penceramah, kemudian ke sana kemari menceritakan kebaikan agama barunya, sambil menjelek-jelekkan agama lamanya. Apakah ada yang begitu? Banyak sekali.
Sejatinya, misi beragama adalah memanusiakan manusia, menebarkan kedamaian bagi sesama. Lalu untuk apa pindah agama jika kemudian malah meniupkan bara permusuhan dan kebencian bagi manusia?
Dalam titik inilah Lord Didi telah menjadi manusia beragama. Ia menebarkan kedamaian dan cinta kasih, mempersatukan semua, melalui lagu-lagunya.
Kagem Lord Didi Kempot, lahul faatihah…
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban