Selama di rumah sejak pertengahan Maret hingga pertengahan Juni ini, aku telah khatam membaca buku dan kitab.
Meski begitu, sebenarnya aku tidak termasuk orang yang cepat dalam hal membaca buku. Aku sulit konsentrasi terutama ketika memulai membaca. Dan ketika membaca juga tidak bisa cepat. Soal menulis juga sebenarnya masih sangat jauh di bawah para penulis “beneran”. Aku masih lama dalam hal menulis.
Beberapa waktu yang lalu, Buya Husein Muhammad Cirebon memosting dua buku karyanya yang akan terbit. Dua buku itu ditulis dalam waktu dua bulan jaga rumah, menurut istilah beliau. Prof. Mulyadhi Kartanegara malah sudah sering menyelesaikan satu buku dalam waktu kurang dari satu bulan sebelum masa pandemi covid19. Belum lagi penulis yang lain.
Aku sementara hanya bisa melongo dengan berucap “masya Allah..!” atas produktifitas mereka. Waktu begitu sangat berharga bagi mereka. Para penulis banyak meninggalkan karya agung untuk mengisi waktu luang mereka. Sementara kita yang hanya melamun di tengah kesepian tidak mempunyai karya peninggalan di tengah “libur panjang”. Yang didapat hanya cerita dan dongeng yang akan menguap ditelan zaman ketika tidak dituliskan dalam guratan pena atau ketikan digital.
Bagaimanapun kita harus selalu membudayakan membaca. Tidak ada suatu kaum atau daerah yang peradabannya maju tanpa ada kemajuan dalam bidang membaca. Begitu juga soal menulis. Di negara Indonesia ini, menulis masih menjadi momok yang sangat berat. Alasannya, tidak punya kemampuan. Orang yang ceramahnya saja memukau, hafalan Quran, Hadits dan kitab kuning sangat bagus tapi untuk menulis selalu beralasan tidak mampu. Ini kan aneh. Belum usaha sudah bilang tidak mampu. Ini kelemahan ahli-ahli agama di sekitar kita.
Di al-Azhar Kairo dan banyak perguruan tinggi di Timur Tengah, hampir semua dosen punya karya buku. Minimal buku diktat yang pergunakan sebagai referensi wajib mata kuliah. Belum lagi di negara Barat yang sangat maju literasinya. Lha, sedangkan kita belum melakukan “menulis”, sudah mengatakan tidak punya keahlian untuk itu. Ahlinya cuma ceramah. Bolehlah ahli ceramah, tapi yang perlu dicatat, Imam Ghazali, Imam Syafii, Imam Nawawi dikenal hingga kini bukan karena ceramahnya, tapi karena tulisannya.
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban