Suluk.id, Jombang – Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kecamatan Diwek rutin menggelar pengajian kitab setiap Rabu Kliwon (23/4). Kegiatan dilaksanakan di kantor MWCNU Diwek.
Kitab al-Muqtathofat karya Dr KH. Marzuqi Mustamar menjadi pilihan kajian malam ini. Kajian disampaikan oleh Ustadz Prabu Fanani, M.Pd.I.
Pengajian yang juga dihadiri oleh perwakilan LBM NU dan IPPNU ini menjadi lahan sangat cocok dalam menguatkan NU-isme di tengah-tengah badai tuduhan Wahabi dan kaum orientalis. “Kita harus yakin dan mantab dengan NU, tidak ada satupun yang diajarkan oleh NU tanpa berdasar dalil,,” tuturnya.
Kali ini, ia menjelaskan seputar gelar sahabat yang tidak sembarang orang bisa menyematkannya. Termasuk juga kemuliaan sahabat, hingga tentang bid’ah yang sering dilemparkan kelompok di luar NU untuk memecah organisasi terbesar di Nusantara ini.
“Bid’ah itu dibagi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah,” jelasnya. Bid’ah hasanah, lanjutnya, pun masih dibagi tiga. “Baik wajibah, mandhubah, dan mubahah,” imbuhnya.
Orang yang sudah memahami konsep ini, tambahnya, tentu tidak akan terbawa arus paham-paham yang tidak jelas. Seperti pemahaman tarawih NU yang identik dengan 20 rakaat.
“Memang bid’ah karena inisiatornya bukanlah Nabi, tetapi sayyidina Umar bin Khattab. Tetapi termasuk bid’ah hasanah”, imbuhnya.
Pemahaman seperti ini memang harus diperoleh dengan belajar. “Jangan sampai umat NU kaget dengan tuduhan-tuduhan bid’ah semacam ini,” pesannya.
“Di Arab saja shalat tarawehnya ada yang 36 raka’at, di desa-desa ada yang diselingi dengan khataman agar tidak bosan,” urainya. “Ada yang taraweh dua jam kuat, ada yang belum 20 menit sudah selesai,” candanya.
“Asalkan rukun-rukunnya beres, ya tidak masalah,” ujarnya. “Paling hanya kurang khusyuk saja,” pungkasnya. (har)
Penulis: Hari Prasetia, pengurus LTN MWCNU Diwek
Suluk.id merawat Islam Ramah serta mengajak beragama yang menggembirakan