Pada sebuah pertemuan para pemilik media online di Jawa Timur sempat ada pembahasan tentang masa depan jurnalisme di tengah perkembangan artificial intelligence (AI). Para pegiat jurnalistik cukup panik dengan adanya sebuah platform yang bisa memproduksi konten dengan hitungan detik tanpa harus melakukan liputan. Kepanikan para jurnalis ini cukup beralasan sebab bisa jadi tugas mereka sebagai penyampai informasi akan digeser oleh aplikasi ciptaan manusia ini.
Seorang teman yang profesinya sebagai wartawan pernah saya beritahu tentang aplikasi chatGPT. Awalnya, dia acuh dengan aplikasi ini baginya itu sama dengan mesin pencarian google yang bisa mencari apa saja. Wajahnya berubah menjadi masam saat saya tunjukkan cara kerja chatGPT. Saya beri perintah sederhana agar bisa menuliskan tentang berita pelantikan sebuah organisasi mahasiswa. Tidak sampai sepuluh menit tulisan itu jadi dan sudah lengkap adanya sebuah kutipan wawancara.
Setelah pertemuan itu, saya terus saja terngiang tentang perkembangan teknologi AI. Saya telurusi terus seperti apa perkembangannya. Teknologi ini tidak hanya menyediakan pembuatan konten berupa tulisan. Mereka sudah banyak berkembangan untuk membantu manusia menyediakan aplikasi edit video ataupun foto. Karena saya lebih tertarik dengan chatGPT kemudian saya bertanya pada beberapa teman lain dan memantaunya. Sebagian besar para jurnalis tidak gentar dengan adanya chatGPT, bagi mereka posisi seorang jurnalis tidak akan tergantikan dengan aplikasi tersebut apalagi data yang ada di dalam chatGPT juga diproduksi oleh mereka para jurnalis yang beritanya berada di media online. Dengan begitu mereka cukup yakin bahwa AI akan tumbuh bersama dengan mereka.
Sapto Anggoro, Anggota Dewan Pers pernah menyampaikan bahwa perkembangan AI bagi dunia jurnalis akan saling bahu membahu. Keduanya saling membutuhkan sebab para jurnalis akan menjadi penyumbang data terbesar dalam program AI tersebut. Dia memberikan contoh sederhana tentang hubungan antara jurnalisme dan AI. Bagi dia, kerja-kerja AI basisnya adalah big data sedangkan kerja-kerja jurnalis adalah bagian dari penyedia big data itu sendiri. Artinya, kelak AI harus fair jika mereka memberikan jawaban atas pertanyaan penggunanya. Yakni mereka harus menyebut sumber dari media yang menyajikan. Dengan begitu, media atau seorang jurnalis bisa mendapat imbal balik dari berkembangnya AI itu sendiri.
Pendapat ini bagi saya menarik, sebab media atau jurnalis akan punya posisi tawar pada AI. Anggap saja para jurnalis memproduksi konten berupa apapun yang ada di Indonesia, sehingga AI akan menyajikan data tentang Indonesia sesuai dengan data yang diproduksi oleh jurnalis. Kondisi ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi seorang jurnalis atau sebuah media itu sendiri. Bila mereka memproduksi kebohongan maka kebohongan itu yang akan diproduksi oleh AI. Jika mereka memproduksi fakta atau kebenaran maka fakta itu juga yang akan diproduksi oleh AI itu sendiri.
Artinya, kelak akan ada kontestasi besar tentang kebenaran di jagad maya. Yakni kebenaran yang diproduksi oleh media dan kebenaran yang diproduksi AI. Siapakah yang akan lebih dominan dalam perebuatan pengaruh pada publik tentang kebenaran ini jurnalisme atau AI?
Agama dan Artificial Intelligence
Saat saya akan menempati rumah kontrakan, saya sengaja mengundang para tetangga untuk datang. Saya menyediakan syukuran kecil dan mengadakan doa bersama agar saya dan keluar bisa betah tinggal di rumah tersebut. Saya yang baru menyewa rumah setelah menikah tidak tahu betul seperti apa tradisi menempati rumah baru. Alhasil saya mengamati setiap hal yang dilakukan oleh pemuka agama saat itu. Menariknya, salah seorang dari pemuka agama itu mengirimi saya link situs website tentang bacaan menempati rumah baru. Dari link website itu saya membaca dengan jelas tentang doa yang harus dibaca saat menempati rumah baru. Lengkap dengan dalil dan rujukan kitab yang digunakan. Pemuka agamanya bukan dari kalangan generasi Z atau anak muda yang gemar menggunakan media sebagai referensinya melainkan orang yang sudah cukup berumur. Saya berpikir mungkin saja pemuka agama itu menyesuaikan saya karena saya pernah bekerja sebagai jurnalis.
Dari perisitiwa itu selanjutnya saya terus saja mengamati perilaku teman, saudara, dosen hingga mahasiswa saat saya bertanya tentang agama. Misalnya seorang teman yang berprofesi sebagai seorang dosen fikih. Dia mengaku sebelum mengajar dia menonton salah satu tayangan di youtube untuk menjadi sumber belajar. Dari tayangan itu kemudian diringkas lalu dijadikan bahan ajar untuk mahasiswanya. Jadi, dosen tersebut sudah tidak lagi membawa kitab klasik atau buku sebagai bekal pengetahuannya untuk memberikan materi kepada para mahasiswa. Teman saya yang tidak memiliki latarbelakang agama yang kuat juga sering memanfaatkan mesin pencarian google untuk bertanya tentang dalil atau bacaan doa. Artinya, sumber-sumber rujukan agama tidak lagi berada di kitab klasik ataupun ceramah-ceramah orang. Mereka lebih memilih big data sebagai rujukan.
Saat ini tak lagi orang akan bertanya ke mesin pencarian. Pertanyaan tentang agama sudah bisa dilayangkan ke chatbot. Kita mengenalnya dengan istilah ChatGPT milik OpenAI. Di sini semua orang bisa bertanya tentang apapun. Tak jarang saya melihat orang-orang berdiskusi tentang agama disini. Mereka kadang juga mendebat jika jawaban si chatbot itu salah. Tak jarang mereka juga memberikan pengetahuan pada chatbot tersebut. Kedepan, manusia akan memiliki teman baru dalam berdiskusi agama. Apakah para pemegang otoritas agama akan tergantikan? Pertanyaan ini harus diikuti dengan penelitian yang mendalam. (*)
Redaktur suluk.id