Suluk.id –Ketika sudah tahun-tahun terakhir di Lirboyo, sekitar tahun 2005-2006-an saya agak aktif di Lembaga Ittihadul Muballighin (LIM), suatu lembaga di bawah naungan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang dipimpin oleh Agus Abd. Qodir Ridwan (Cak Qodir). Lembaga ini mengurusi bidang dakwah ke masyarakat secara langsung dan mendelegasikan para santri sebagai guru tugas ke seluruh pelosok nusantara. Mulai Sabang sampai Merauke.
Waktu itu, seringkali pada malam Jumat, saya -bersama teman-teman yang lain- ditugaskan ke daerah-daerah minus di pegunungan wilayah kec. Semen Kab. Kediri untuk mengisi kegiatan di masyarakat setempat; terkadang memberi ceramah, pengajian kitab, atau sekedar mimpin tahlil. Daerah-daerah pelosok itu memang sangat membutuhkan sentuhan pendidikan agama dari pesantren. Dakwah di tempat seperti itu tantangannya tidak enteng. Secara keyakinan dan psikologis, kalangan pesantren harus bersaing dengan para misionaris Kristen atau Katolik. Selain itu, secara fisik harus berhadapan dengan medan pegunungan yang tinggi, jurang, atau hutan yang tidak mudah untuk dijangkau.
Saya sendiri punya pengalaman yang lebih dari cukup untuk dikenang. Ceritanya, sehabis isya’ saya bersama teman-teman lainnya akan berangkat ke Gunung. Seperti biasa kami rapat persiapan kecil dengan pengurus inti LIM (sering ada Cak Qodir atau pengurus inti lainnya) di kantor LIM yang waktu itu ada di gedung al-Ittihad lantai satu. Persiapan itu untuk pembagian wilayah yang akan dijangkau oleh para santri da’i. Saya kebagian daerah yang lumayan tinggi dan pelosok. Saya satu jalur dengan teman saya yang bernama Zainal Amin (Tuban) dan Fathurrahman (Magelang). Karena satu jalur, kami berangkat bersama. Padahal hanya ada satu sepeda motor butut, Shogun Kebo. Karena waktu itu persediaan sepeda motor masih minim.
Di antara kami bertiga, saya dianggap paling bisa pegang setir sepeda motor. Jadilah saya yang membonceng dua teman. Kopelan. Kami pun berangkat naik-naik ke puncak gunung dengan motor butut. Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 9 atau 10 kilometer dari terminal Tamanan kota Kediri. Tapi karena jalanan yang menanjak naik ke gunung, berkelok-kelok, pinggirnya pun banyak jurang, dan sering melewati hutan, jadilah jarak 10 kilometer itu seperti berkilo-kilo jauhnya. Belum lagi gelapnya malam hari dan dinginnya cuaca pegunungan. Lengkap sudah.
Saya antar kedua teman tadi sampai di tempat masing-masing, kemudian saya melaju sendirian ke tempat tujuan yang berada di dusun setelahnya. Setelah semuanya mengisi kegiatan dakwah di tempatnya masing-masing, saya mulai turun gunung untuk menjemput kedua teman tadi. Setelah lengkap, kamipun pulang menyusuri pegunungan yang berkelok-kelok, ditemani gelapnya malam. Waktu itu jam sudah menunjukkan sekitar pukul 22.00 lebih.
Di tengah perjalanan, awalnya jalan yang kami lewati lumayan bagus. Jadi saya santai saja. Karena jalannya menurun, tanpa digas pun motor meluncur begitu saja. Tanpa saya duga, jalan yang awalnya bagus, ternyata setelah tikungan jalannya rusak berat. Banyak yang berlubang. Saya kaget. Tidak siap dengan keadaan seperti itu. Saya tidak bisa memilih jalan yang bagus untuk bisa dilewati karena tahu-tahu sudah dekat. Saya pun menerobos jalanan rusak itu dengan mengandalkan kekuatan tangan. Tapi sayang, tangan saya tidak kuat menahan setang kendali motor. Brakk..! kedua teman saya terpelanting. Saya yang sekuat tenaga memegangi setang, terjerembab di aspal bersama dengan Si Shogun Kebo. Tangan kanan dan mulut saya mencium aspal hitam. Bekas luka yang ada tangan kanan ini masih terlihat hingga sekarang.
Di tengah hutan yang gelap gulita itu kami bertiga kecelakan. Tidak ada orang yang tahu dan tidak ada yang menolong. Juga tidak ada lampu penerangan jalan. Karena posisi kami masih di tengah jalan. Kami berusaha menepi dan meminggirkan motor. Yang agak untung, malam itu Bulan agak memancarkan cahaya. Kami melihat luka masing-masing. Teman saya Fathurrohman hanya luka-luka sedikit. Masih kuat berjalan seperti biasa. Tapi teman saya Zainal Amin lukanya agak parah, kakinya mengeluarkan darah yang lumayan, wajah bagian atas juga terdapat luka yang lumayan. Agak lama dia tidak kuat berdiri dan pindah menepi. Sepeda motornya setangnya bengkok, tidak bisa lurus.
Kami bertiga duduk di pinggir jalan, nunggu kendaraan yang lewat. Mau minta bantuan ke pondok juga tidak ada yang membawa HP. Mau berjalan juga tidak kuat. Perkampungan warga sudah lewat lumayan jauh. Apalagi motornya tidak bisa dipakai, karena rusak. Akhirnya kami pun duduk diam di tengah hutan menunggu bantuan. Sambil menikmati duka nestapa. Ketika dari bawah kelihatan ada motor yang akan lewat, hati kami agak berbunga. Karena jam segitu sudah sangat jarang ada kendaraan yang lewat. Sudah jam sebelas malam lebih. Motor yang lewat pun kami cegat, tapi ternyata banyak yang tidak mau berhenti. Mungkin mereka mengira kami ini jambret. Jadi bukannya mau menolong, tapi malah takut. Ada satu pengendara yang mau berhenti menolong. Ia melihat-lihat kerusakan motor kami. Setelah itu ia bilang mau ambil alat (obeng, kunci Inggris dlsb.) untuk memperbaiki motor agar bisa dinaiki sampai pondok. Dia pergi ke kampung, katanya, mau mengambil alat. Anehnya, kami tunggu sampai lama ternyata ia tidak kembali. Mungkin, pikirnya, lebih enak tidur daripada repot-repot kembali. Hehe.
Hampir satu jam kami “cangkrukan” di tengah hutan. Setelah lama menunggu, akhirnya “Tim SAR” dari LIM datang juga. Mereka menyisiri jalan dari bawah hingga menuju ke arah daerah tempat kami mengisi pengajian. Makanya lumayan lama. Dari pengurus LIM yang dikomando Cak Qodir ini biasanya memperkirakan kalau santri-santri yang dikirim akan pulang dan sampai di pondok pada jam sekian (sekitar jam sepuluh malam). Kalau melebihi itu, biasanya ada masalah. Kadang masih ditunggu beberapa menit. Jika tidak datang, baru ada tim yang terjun ke medan juang. Maka dari LIM ini ada tim khusus semacam Tim SAR untuk menanggulangi hal semacam itu. Tim SAR ini harus memastikan semua santri kembali dengan selamat.
Setelah bertemu kami, “Tim SAR” yang berjumlah cuma dua orang itu kemudian menghubungi pusat (mereka sudah dibekali HP) untuk dikirim bantuan mobil untuk mengangkut kami. Mobil Pick Up pun datang dan kami segera dibawa kembali ke pondok. Cak Qodir dan pengurus LIM lainnya sudah menunggu kedatangan kami. Saya dan satu teman yang parah langsung dibawa ke UGD untuk dirawat. Dan yang hanya luka sedikit dipersilahkan istirahat di asrama pondok. Malam itu kami berdua menginap di Rumah Sakit. Untunglah waktu itu sudah berdiri Rumah Sakit milik pondok, sekarang namanya RSU Lirboyo.
Satu pengalaman ini sungguh sangat terkenang di hati saya. Pengalaman bersama LIM dan Cak Qodir ini tidak membuat saya kapok untuk tetap ikut kegiatan LIM. Selang beberapa waktu kemudian, setelah tamat dari MHM tahun 2006 saya kembali aktif dalam LIM. Saya ditunjuk oleh Cak Qodir untuk menjadi Guru Tugas di Pon. Pes. Al-Amin Ngasinan Kota Kediri. Ini permintaan Cak Fuad (adik ipar KH. Thohir Marzuqi dan menantu KH. Anwar Iskandar) untuk membantu beliau dalam mengelola Madrasah Diniyah dan Pondok yang diasuh oleh KH. Anwar Iskandar itu. (Pengalaman yang kedua ini tidak kalah menarik, jika diceritakan sungguh sangat panjang sekali, dan saya sudah capek nulis. hehe).
Akhirnya, terima kasih Cak Qodir, jenengan sudah memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi saya yang lemah ini. Pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang hidup saya.
Sugeng tindak cak.. Semoga amalmu yang banyak itu menjadikanmu penghuni surga-Nya. Aamiin.
Lahul Fatihah..
Penulis: Terompah Kiai, Pendidik dan Anggota LTN PC. NU Kab. Tuban