Syaikhina Maimoen Zubair pernah ndrodog (merasa gemetar), saat berkunjung ke Kuncen Padangan. Itu terjadi kala beliau berusia 17 tahun, tepatnya pada 1945 silam.
suluk.id – Beberapa saat sebelum menyelesaikan buku Hikayat Padangan Kota Cahaya dan sejumlah biografi ulama, saya sempat keluyuran ke beberapa tempat untuk mencari referensi tulisan. Di saat itulah, tak sengaja mata saya membaca judul kitab Sorof karya Mbah Hasyim Jalakan di sebuah toko kitab berlokasi di dalam pasar Kota Bojonegoro.
Aneh memang. Tempat itu sudah sering saya kunjungi. Sudah sering saya telusuri tiap sudut rak-nya. Namun, baru hari itu saya menjumpai judul kitab tersebut. Padahal, konon letak kitab tersebut tak pernah berubah. Sudah cukup lama berada di rak yang sama. Bahkan covernya kusut dan terlipat.
Mendapati hal itu, saya sangat senang sekali. Maklum, selama ini, saya hanya mendengar cerita tentang nama kitab tersebut, tapi belum pernah sekalipun melihat wujudnya. Singkat cerita, saking senangnya, saya langsung menciumi kitab itu dan membelinya.
Beberapa hari setelah membeli kitab, saya ke Kuncen untuk sowan pada kiai saya, Kiai Arifin Mustagfiri (Mbah Pin) Kuncen. Selain menunjukan kitab tersebut, saya juga berniat minta restu dan petunjuk, tentang proses penulisan biografi yang sedang saya tekuni.
“Lhaa, lagek ae awakmu ape tak peseni nggolek kitab iki, lha kok wes mbok gowo merene.” Ucap Kiai sambil menepuk pundak saya, diiringi raut senyum yang tidak seperti biasanya.
Kiai mengamati kitab tersebut cukup lama. Seperti seorang teman yang sangat lama tak bertemu, lalu kembali berjumpa. Sesekali beliau tampak mengirim doa. Sementara saya hanya diam di dekat beliau.
Kiai bercerita, kitab yang ada di depan kami itu, dulu sangat populer sekali. Bahkan pernah dikaji di sejumlah negara di Timur Tengah. Selain Mbah Hasyim Asy’ari dan Mbah Ihsan Jampes, Mbah Hasyim Jalakan adalah nama kiai Jawa yang sering diperbincangkan di Timur Tengah, karena karya tulisnya.
Dari kitab itu pula, ujar beliau, bukti bahwa Padangan, khususnya Kuncen, pernah jadi gudang tafaquh fiddin bagi banyak orang, beberapa tahun silam. Ada banyak nama kiai-kiai dari Kuncen yang punya pengaruh besar dalam jejaring keilmuan Islam di tanah Jawa.
Kiai sempat diam sebentar. Lalu, beliau berkata,” Mbah Moen mbiyen sampek ndrodog (gemeter) pas dolan ning Kuncen”. Kata beliau mengenang. Kisah itu beliau dapat secara langsung dari Mbah Moen, saat beliau masih nyantri di Sarang Rembang.
Kiai Arifin Mustagfiry, kiai kami, memang santri Mbah Moen langsung. Beliau nyantri di Sarang Rembang pada 1978 silam. Kiai sangat dekat dengan Mbah Moen. Saat ngaji, Mbah Moen adalah nama yang paling sering beliau sebut-sebut di setiap hikayat dan cerita.
Saking dekatnya, bahkan saat Kiai mau boyong, Mbah Moen sempat ngganduli dan berkata,” wes nek soal mangan ngko aku, Pin. Sing penting awakmu ojo boyong disik”. Tapi karena waktu itu Kiai sedang sakit, beliau tetap boyong. Meski sesungguhnya Kiai masih ingin terus ngaji pada Mbah Moen.
Kiai sosok yang amat tawadhu. Jarang mau banyak cerita. Beliau amat zuhud dan warai. Selain urusan ngaji dan mbalah kitab, beliau tak pernah mau melibatkan diri dalam struktur organisasi apapun. Kisah-kisah hikmah, hanya keluar saat sedang ngaji.
Tentang kunjungan Mbah Moen ke Kuncen, Kiai bercerita, dulu ketika ngaji di Sarang, beliau pernah dipanggil Mbah Moen. Mengetahui Kiai berasal dari Kuncen, Mbah Moen berkata: “Pin, aku mbiyen sampek ndrodog gemeter pas dolan ning Kuncen. Lha piye gak ndrodog, wong sak plengaan, sak jangkahan sikil, aku nemoni kiai-kiai khos ning Kuncen.” Ucap Kiai mengenang sambil menirukan ucapan Mbah Moen pada beliau.
Mbah Moen ke Kuncen karena dulu, Kuncen identik tempat orang-orang mengaji, sehingga punya daya tarik magnetis untuk dikunjungi. Dan kebiasaan santri zaman dulu, sering sekali silaturahim ke sejumlah tempat untuk istifadoh dan tafaquh fiddin.
Menurut Kiai, Mbah Moen ke Kuncen di usia 17 tahun. Jika Mbah Moen lahir pada 1928, kunjungan beliau ke Kuncen terjadi pada 1945. Kiai mendapat kisah itu dari Mbah Moen pada 1978, saat Mbah Moen sudah berusia 50 tahun. Sementara saat menerima cerita itu, Kiai berusia 23 tahun.
Jika dikaji secara historiografi, tahun 1945 merupakan tahun di mana nama Kuncen masih harum sebagai Bumi Para Kiai. Tahun-tahun itu, Kuncen masih punya julukan “Segorone Kiai” yang sering dikunjungi santri dari berbagai daerah untuk istifadoh.
Saat Mbah Moen merasa ndrodog gemetar dan “melihat” banyak kiai khos di tiap pandangan mata, ini bisa dimaknai pandangan kasyaf yang hanya bisa dirasakan orang-orang tertentu, atau bisa juga pandangan nyata. Sebab, hal sama pernah dirasakan Mbah Wahab Hasbullah saat melintas di Kuncen beberapa tahun sebelumnya.
Kuncen Segarane Kiai
Selain KH. Hasyim Jalakan dan KH. Ahmad Rowobayan, sesungguhnya Padangan, khususnya Kuncen, pernah didiami banyak kiai nan waliyullah. Hanya, namanya tertelan zaman karena selain tak pernah tercatat, juga tak meninggalkan warisan lembaga pendidikan atau pondok pesantren.
KH. Hasyim Jalakan cukup masyhur karena selain mengarang kitab, beliau juga jadi jujugan banyak kiai besar. Mbah Baidlowi Lasem, misalnya, beliau pernah nyantri pada Mbah Hasyim. Sementara KH. Ahmad Rowobayan juga cukup masyhur. Sebab, Ponpes Thoriqoh yang beliau dirikan, selain diikuti banyak santri dari luar kota, juga masih berkegiatan hingga saat ini. Sehingga kisah dan riwayat beliau masih mudah ditemui.
Namun, di luar dua nama tersebut, sesungguhnya Kuncen pernah dihuni kiai-kiai waliyullah dengan jumlah cukup banyak. Ada sejumlah alasan kenapa nama-nama tersebut menghilang. Pertama; tak meninggalkan warisan berupa pondok pesantren, kedua: pindah kota. Ketiga: kiprahnya tak dilanjutkan keturunan.
Sebut saja; KH. Murtadlo (kakek dari Mbah Muslih, pendiri Ponpes Tanggir), KH. Zarkasy (ayah dari KH. Mustajab Gedongsari, seorang waliyullah Kota Nganjuk), Romo Yai Suryadi (pengajar Ponpes Tremas asal Kuncen, yang dijuluki wali pedagang tempe), KH. Zainuddin Mojosari (dikenal waliyullah pengasuh Ponpes Mojosari Nganjuk), KH. Marzuki Langgar Kidul, Mbah Dewod atau Kiai Dawud (wali jadzab yang Mabuk Allah).
Beberapa nama lain masih berhenti sebagai folklor (cerita rakyat), dan belum ditemukan bukti autentik berupa lokasi makam dan peninggalan. Tapi kisahnya terus hidup sebagai khazanah lisan seperti Mbah Syarmith, wali dermawan yang membagi-bagikan harta pada tiap orang yang ditemui di jalan atau seorang Sayyid dengan berbagai karomah yang pernah mukim di Kuncen.
Setelah generasi tersebut, Kuncen dipenuhi generasi ulama dan kiai yang lebih kontemporer seperti KH. Abdurrohim, KH. Abdurrahman, KH. Marwan, KH. Masykur, dan KH. Ahmad Bisri — tiga nama terakhir tercatat sebagai muasis NU Padangan, yang kemudian jadi cikal bakal NU Bojonegoro — yang mayoritas juga mengajar ngaji.
Nama-nama di atas adalah Kiai khos yang pernah lahir, tinggal, dan berproses di desa sangat kecil bernama Kuncen. Masing-masing nama, tentu membawa latar cerita yang patut dipahami. Hanya, tak mungkin saya menulis semua cerita di satu artikel yang sama. Semoga saya memiliki kesempatan untuk menulis kisah dari masing-masing nama tersebut, di lain kesempatan.
Dari data di atas, secara tak langsung, telah mendasari alasan kenapa Kuncen masyhur sebagai gudang para pejuang Sarekat Islam pada era 1912-an, membuat Mbah Wahab Hasbullah selalu ingin mampir pada 1930-an, dan membuat Mbah Moen merasa ndrodog pada 1945 silam.
Hanya, meski pernah ditinggali banyak kiai besar nan waliyullah, Kuncen juga selalu jadi tanah palagan ideologi antara orang-orang modernis dan tradisionalis. Ini alasan utama banyak makam wali yang sulit dicari. Sebab, di tiap zaman selalu ada dua kutub yang saling berseberangan dan berupaya saling mendominasi.
Kiai pernah bercerita pada saya, bagi orang-orang kasyaf, saat berkunjung ke Kuncen, mereka seperti melihat makam Zanbal di Tarim, yang dipenuhi tanda kedekatan pada Allah. Tapi, dari pandangan mata awam seperti kita, hanya lokasi makam biasa.