Teman kami dari Jombang, Kiai Ahmad Faqih mengajak diskusi penulis tentang puasa Sunnah Syawal, khususnya pandangan Imam Malik, guru Imam Syafii, yang menurut salah satu website memakruhkan puasa syawal.
Penulis berusaha mencari-cari perbedaan pandangan ulama tersebut dalam kitab-kitab yang penulis punya. Hasilnya di bawah ini:
عن أبي أيوب الانصاري رضي الله تعالي عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر (رواه مسلم)
Nabi bersabda: orang yang berpuasa Ramadan kemudian mengikutinya enam Hari dari bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa satu tahun (H.R. Muslim).
Syaikh Hasan Sulaiman Al-Nawari Dan Sayyid Alawi Abbas Al-Maliki dalam kitab Ibanah al-Ahkam Juz 2 h. 321-322 menjelaskan:
Pahala puasa Ramadan berbanding 10 bulan dan puasa 6 hari berbanding 2 bulan, jadi lengkap 12 bulan. Hal ini Karena kebaikan bernilai sepuluh Kali lipat.
Puasa Syawal bisa diawal bulan, tengah, atau akhir. Namun Imam Malik menghukumi makruh puasa Syawal jika dilakukan langsung setelah Hari idul Fithri (tanggal 2 Syawal) bagi orang yang dijadikan panutan Karena khawatir orang awam meyakini bahwa puasa Syawal hukumnya wajib sampai mereka menjadikan lebaran dengan nama عيد الست berlebaran dengan puasa enam Hari Syawal.
Sedangkan, madzhab Syafii menyunnahkan puasa Syawal dilakukan secara langsung setelah Hari lebaran (tanggal 2 Syawal sampai 7 Syawal). Jika puasa syawal ini dilakukan terpisah atau mengakhirkan maka ia tetap mendapatkan kesunnahan puasa Syawal.
Imam Ahmad menjelaskan tidak ada perbedaan keutamaan antara menyambung langsung (2-7 Syawal) atau memisah.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyampaikan: makruh berpuasa pada hari-hari bulan Syawal Karena khawatir meyakini statusnya menjadi wajib.
Namun ulama fiqh dari kedua madzhab ini (فقهاء المالكية والحنفية) menyatakan: berpuasa bulan Syawal hukumnya Sunnah secara terpisah, namun menurut pendapat terpilih tidak makruh melakukan secara tersambung terus (2 sampai 7 syawal tanpa terputus).
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah). Para ulama fiqh madzhab Maliki Dan Hanafi memahami pendapat kedua imam madzhabnya dalam konteks ketika seseorang menyambung langsung puasanya dengan hari idul fitri dan melalukannya secara berturut-turut atau dalam bahasa Jawa ‘nuli-nuli’, yaitu mulai tanggal 2 sampai 7 Syawal Tanpa terputus.
Ketika seseorang berpuasa tidak langsung setelah Hari idul fithri (tanggal 2 Syawal) dan dilakukan tidak secara bersambung-berturut-turut, namun terpisah-pisah, maka hukumnya tidak makruh.
Dalam kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arbaah karya Al-Jaziri Juz 1 h. 472 disebutkan:
Madzhab Malik menghukumi makruh puasa enam Hari bulan Syawal dengan banyak syarat:
Pertama, orang yang berpuasa termasuk panutan atau dikhawatirkan termasuk orang yang meyakini bahwa puasa Syawal hukumnya wajib. Kedua, melakukan puasa langsung setelah hari idul fithri (mulai tanggal 2 Syawal). Ketiga, melakukan puasa secara berturut-turut (tanpa terputus selama 6 Hari). Keempat, menampakkan puasanya kepada orang lain (tidak menyembunyikan).
Jika satu syarat saja dari empat syarat ini tidak ada, maka tidak makruh berpuasa Syawal kecuali jika ia meyakini bahwa menyambungkan puasa syawal dengan Hari idul fithri hukumnya sunnah, maka dalam konteks ini puasanya makruh, meskipun ia tidak menampakkan puasa pada orang lain atau ia berpuasa secara terpisah.
Sedangkan madzhab Hanafi menjelaskan kesunnahan melakukan puasa Syawal secara terpisah, yaitu setiap minggu dua Hari.
Bagaimana pendapat Imam Malik dalam kitabnya ?
Dalam kitab Tanwirul Hawalik Syarah Kitab Muwaththa’ Imam Malik karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi Juz 1 h. 290 disebutkan bahwa Imam Yahya berkata:
Saya mendengar Imam Malik berkata: beliau tidak melihat seorangpun dari ahli ilmu Dan fiqh yang berpuasa enam Hari bulan Syawal Dan tidak informasi seorangpun dari ulama salaf yang berpuasa enam Hari syawal Dan sesungguhnya ahli ilmu memakruhkannya Dan khawatir bid’ahnya pada orang bodoh Dan keras hati yang meyakini bahwa puasa enam Hari syawal termasuk dari Ramadan jika mereka melihatnya sebagai keringanan (rukhshah) bagi ahli ilmu Dan mereka melihatnya melakukan itu.
Analisa
Menarik melihat ragam pendapat ulama di atas. Ada beberapa catatan: Pertama, kekhawatiran Imam Malik bahwa orang awam akan meyakini puasa Syawal termasuk Ramadan menjadi illat hukum yang harus digaris bawahi.
Kedua, para ulama pengikut Imam Malik membuat indikator kekhawatiran Imamnya dengan dua Hal: pertama: berpuasa langsung pada tanggal 2 Syawal. Kedua, melakukannya secara berturut-turut.
Dari dua indikator ini, maka ulama pengikut Imam Malik berpendapat Sunnah berpuasa Syawal dilakukan secara terpisah.
Dari sini kelihatan sekali tidak ada fanatisme bermadzhab. Justru yang ada adalah mencoba memahami pendapat Imam Madzhab secara kontekstual, tidak tekstual, sehingga relevant dengan tantangan zaman dengan tetap berpijak pada dalil.
Ketiga, Imam Malik mengakomodir praktek ulama ahli di Madinah yang dikenal dengan Ijma’ Ahli Madinah. Konsep ini tidak sama dengan Imam Syafii yang tidak mengakomodir ijma’ Ahli madinah.
Intinya adalah dinamisasi madzhab sangat penting.
Wakil Ketua PCNU Pati, Direktur LESKA, Dosen IPMAFA