Satu pesan penting yang kami dapat dari metode Abuya Sayyid Muhammad, Abuya Sayyid Abbas dan Syaikhina Gus Baha adalah pentingnya mutolaah kitab di tengah potensi keplesetnya lidah
“Makanya saya mohon, siapapun yang mencintai agama (Islam) ini harus banyak mbaca.” Gus Baha, dalam suatu kesempatan, pernah mengucap kalimat yang kelak amat populer tersebut.
Tanpa mengucap kalimat itu pun, saya percaya, siapapun yang mengingat Gus Baha, pasti mengingat mbaca kitab. Berpegang kitab. Dan selalu bersinggungan dengan proses mbalah kitab.
Gus Baha, secara langsung bahkan pernah bilang jika beliau, bukan penceramah umum. Tapi lebih suka dengan ngaji urut. Ngaji yang tentu saja, berorientasi pada mutolaah (sinau) berpegang kitab.
Ngaji berpegang kitab, merupakan harta karun tradisi masyarakat pesantren, yang sempat hilang ditelan maraknya penceramah berbasis quote-quote keren belaka. Hadirnya Gus Baha memunculkan kembali harta karun tradisi klasik tersebut.
Itu sebuah legitimasi bahwa Gus Baha bukan seorang mubaligh biasa; alih-alih penceramah panggung, melainkan seorang kiai ilmuwan atau ilmuwan yang sekaligus seorang kiai.
Sebab, Gus Baha tak sekadar menghadirkan quote-quote alternatif dan keren yang saat didengar memunculkan perasaan kagum.
Lebih dari itu, Gus Baha menyajikan atmosfer metode ilmiah, yang secara otomatis, quote-quote alternatif dan keren — yang amat kita kagumi itu — bisa muncul begitu saja.
Gus Baha selalu menghadirkan atmosfer belajar. Atmosfer ensiklopedik berbasis referensi kitab. Kita tahu, di tengah zaman yang mudah terpesona oleh quote, metode yang dihadirkan Gus Baha itu amat penting.
Selain metode dan atmosfer belajar, kesan dan keberpihakan ukhrowi begitu terasa di tiap mauidhoh hasanah Gus Baha. Ini yang membuat beliau selalu menghadirkan suasana tenteram dan membikin hati pendengarnya sumeleh pada hidup.
Sampai saat ini, dalam setiap kesempatan, ada satu identitas yang kerap melekat pada sosok Gus Baha, yakni referensi sebuah kitab. Referensi genealogi dan sanad-sanad pemikiran. Sehingga ilmu tidak berhenti pada satu objek manusia (saya), tapi mengalir menuju sumber kelahirannya.
Hal itulah, menurut hemat saya, yang membuat tiap kali mengingat Gus Baha, selalu mendamparkan ingatan pada atmosfer belajar — suasana belajar yang tak sekadar kagum akan quote keren nan alternatif belaka.
Abuya Sayyid Muhammad, Abuya Sayyid Abbas hingga Gus Baha
Ramadhan tahun ini, para santri Markaz Ridwan Romly Al-Maliky Bojonegoro mengadakan Ngaji Pasan kitab Mala Ainun Roat karya Abuya Sayyid Muhammad Al Maliky Al Hasani rahimahullah, yang dimulai sejak 5 Ramadhan hingga 26 Ramadhan kemarin.
Di Indonesia, Abuya Sayyid Muhammad merupakan sosok ulama ahlussunah wal jamaah yang masyhur punya kedekatan dengan ulama Nusantara, wabilkhusus dengan Mbah Moen Sarang dan Mbah Faqih Langitan.
Kita mungkin sering melihat foto-foto beliau saat memegang kitab, mbalah kitab, atau musyawarah dengan para kiai sepuh Nusantara. Beliau seorang ulama sekaligus waliyullah penulis, yang jumlah karya kitabnya sudah tak bisa lagi dihitung dengan jari.
Bagi kita yang hanya bisa melihat beliau lewat foto, misalnya, Abuya Sayyid Muhammad sering menghadirkan suasana mutolaah. Suasana sinau berpegang kitab. Itu jelas karena beliau seorang ulama yang penulis.
Ngaji Pasan kitab Mala Ainun Roat tersebut, diampu langsung oleh pengasuh pondok sekaligus guru kami, KH. Tsalis Duha Ridwan, sosok yang pernah khidmah secara langsung pada Abuya Sayyid Abbas rahimahullah — adik dari Abuya Sayyid Muhammad.
Sebelum mbalah kitab, Kiai Tsalis bercerita pada kami tentang pengalaman beliau saat nyantri di Makkah, di bawah asuhan Abuya Sayyid Abbas Al Maliky Al Hasani — yang sekaligus adik dari pengarang Kitab Mala Ainun Roat yang sedang kami kaji.
Kiai Tsalis bercerita tentang bagaimana metode Abuya Sayyid Abbas ataupun Abuya Sayyid Muhammad yang sangat mengedepankan membaca kitab. Mengedepankan referensi keilmuan melalui proses membaca kitab merupakan metode yang sudah menjadi tradisi belajar.
Bahkan, Kiai Tsalis bercerita jika pernah diajak masuk ke kamar pribadi beliau, yang amat dipenuhi oleh kitab-kitab. Itu menunjukan betapa referensi dan metode ilmiah membaca kitab amat penting bagi para santri yang berguru pada Abuya.
Kata Kiai Tsalis, pesan Abuya Sayyid Abbas yang selalu beliau ingat adalah pentingnya mutolaah. Para santri harus mutolaah dengan berpegang kitab. Hal ini penting agar tidak kepeleset lidah. Agar tidak terlalu jauh dalam mengarang.
Dan Mutolaah, kata Kiai Tsalis, harus menggunakan kitab. Ngaji harus pakai kitab. Berpegang kitab. Menurut Kiai Tsalis, mutolaah berpegang kitab adalah metode Abuya Sayyid Abbas yang selalu dipesankan pada para santri. Karena itu, Kiai Tsalis menyampaikan estafet pesan tersebut kepada kami, para santri beliau, agar saat ngaji selalu berpegang kitab.
Dan satu pesan penting yang kami dapat dan amat kami syukuri dari mengenal — meski baru sedikit — sosok ulama-ulama besar seperti Abuya Sayyid Muhammad, Abuya Sayyid Abbas hingga syaikhina Gus Baha, adalah betapa pentingnya mutolaah kitab di tengah samudera potensi keplesetnya lidah.