Tiongkok dan Jepang merupakan negara maju dan besar secara ekonomi di abad 21 M. Ini. Mereka berdua telah menguasai pasar Asia-Pasifik hingga menembus ke Eropa dan Afrika.
Kekuatan ekonomi kedua negara ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang memberikan kesejahteraan bagi warganya, dan bahkan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat global.
Produk-produk made in Tiongkok dan Jepang tersebar dimana-mana, termasuk di Indonesia. Hampir semua produk kedua negara ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan bangsa Indonesia.
Membicarakan barang elektronik dan alat transportasi maka dalam pikiran tergambar nama-nama merek Tiongkok dan Jepang. Mulai dari gawai, smartphone, kendaraan bermotor, laptop, dan bahkan barang-barang keperluan rumah tangga, serta mainan anak-anak merupakan produk dari Tiongkok dan Jepang.
Dalam segi geopolitik Tiongkok saat ini merupakan salah satu negara dengan alutista tercanggih dan personil yang over-jumbo di dunia. Negara ini telah menduduki anggota tetap dewan keamanan PBB sejak berakhirnya Perang Dunia II bersama Rusia, Amerika, Perancis dan Inggris, yang mempunyai keluasan dalam menentukan nasib suatu negara di dunia.
Jepang, walaupun kalah dalam Perang Dunia II dan berdampak pada posisinya sebagai kekuatan militer dunia, saat ini tetap merupakan negara dengan kekuatan bela diri yang baik dan dipenuhi dengan sumberdaya manusia berkualitas yang melimpah.
Jepang tetap mempunyai alutista yang canggih dan bisa memberikan posisi penting di kawasan.
Melihat pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan Jepang, tingkat kualitas sumberdaya manusia dan pertumbuhan industri manufakturnya jelas kedua negara ini merupakan negara maju dan memberikan harapan hidup dan kesejahteraan bagi warganya.
Namun dibalik semua itu kedua negara ini telah menghadapi ancaman keruntuhan dan kematian di masa depan.
Kebijakan satu anak Tiongkok
Tiongkok telah mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi pasca perang dunia. Tiongkok tumbuh menjadi negara besar dengan ekonomi yang stabil.
Melihat potensi ini Tiongkok tidak mau mengalami keterpurukan dan terbebani tanggungan yang terlalu berat untuk mengelolah warganya. Ia pun menerapkan kebijakan kontroversi pada warganya untuk setiap keluarga, Satu anak.
Pada tahun 1980-an Tiongkok menerapkan kebijakan satu anak untuk satu keluarga ini dengan metode yang cukup ketat. Pemerintah benar-benar menekan warganya untuk tetap konsisten memiliki satu anak dengan pemaksaan dan beban pajak yang besar.
Akibatnya pada tahun ini (2018) Tiongkok kesulitan mendapatkan generasi produktif untuk menggantikan generasi saat ini yang aktif mengisi kemajuan negaranya. Hanya 30% warga Tiongkok yang produktif saat ini yang berpotensi untuk mengisi masa depan negara itu, sisanya adalah generasi lama atau manula.
Praktis, dimasa depan—tepatnya pada tahun 2030-an Tiongkok akan kehilangan banyak generasi terbaiknya dan akan mengalami “kematian” penduduk produktif.
Mahalnya Berkeluarga di Jepang
Jepang menghadapi hal yang sama dengan Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi yang pesat berdampak pada meningkatnya harga tanah dan properti di Jepang.
Hal ini juga menyebabkan harga kehidupan untuk satu keluarga di Jepang menjadi mahal dan berlipat, sehingga mempersempit peluang generasi muda untuk berkeluarga—lebih memilih membujang.
Selain itu, tantangan Jepang juga terletak pada warga Jepang sendiri. Generasi muda Jepang dewasa ini telah meningkat menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan berkemampuan cerdas dalam hal pekerjaan dan ilmu pengetahuan.
Rata-rata menduduki posisi penting dalam perusahaan dan instansi negara. Namun, karena asyiknya bekerja dan mahal biaya hidup generasi muda Jepang lebih memilih Joblo dan menekuni dunia kerja dari pada harus menikah.
Akibatnya menjadi jelas, Jepang semakin kekurangan calon-calon manusia berkualitas dan generasi masa depannya akan berkurang secara drastis.
Hal ini menjadi acaman serius bagi pertumbuhan dan eksistensi Jepang sebagai negara.
Melihat kondisi Tiongkok-Jepang saat ini jelas di masa depan kedua negara ini akan mengalami “kematian” secara berlahan dan “bunuh diri negara” pelan-pelan akan menjadi hal yang tak terelakkan bagi masa depan masyarakatnya.
NU dan Kebijakan KB Indonesia
Indonesia mempunyai program yang sama dengan Tiongkok dalam upaya mengurangi jumlah penduduk, yaitu program KB dua anak cukup. Program ini merupakan program “kematian” bagi masyarakat dan menjadi andalan dalam menjalankan agenda globalis.
Alih-alih mensejahterakan kehidupan keluarga, program KB akan menjadi senjata kematian masyarakat yang nyata bagi masa depan bangsa Indonesia dan eksistensi NKRI.
Ancaman yang dialami Tiongkok-jepang akan terulang di Indonesia pula jika program ini benar-benar berjalan normal. Yang paling berdosa dalam pelaksanaan ini adalah rezim Orde Baru, yang tak lain adalah antek CIA dan kolaborator asing.
Upaya pencegahan harus segera dilakukan oleh warga nahdliyin, sebagai entitas terbesar umat Islam di Indonesia, sehingga kelak di masa depan Indonesia tetap akan menjadi negara kuat dan mampu menjadi negara yang memiliki sumberdaya manusia yang melimpah.
Strategi “Membangun Dari Dalam”
Tradisi kehidupan yang dijalani oleh para ulama’ pesantren dan warga nahdliyiin selayaknya dijalankan kembali dan menjadi agenda normal yang dijalankan oleh warga negara Indonesia.
Tradisi ini selayaknya menjadi strategi dalam menerapkan peta jalan kehidupan bagi setiap generasi bangsa, agar “bunuh diri” negara benar-benar tidak gagal di Indonesia.
“Membangun dari Dalam” yakni membangun kekuatan dari dalam keluarga adalah kunci membangun bangsa melalui ikatan keluarga. Hubungan dalam keluarga harus diperbesar dan ditingkatkan secara masif dan dijalankan secara gradual.
Dari keluarga inilah akan tumbuh kualitas-kualitas manusia yang baik untuk mengisi dan mempertahankan eksistensi masa depan negara.
Pertama, Banyak Anak. Hentikan program KB-Dua Anak Cukup bagi setiap keluarga nahdliyin. Hindari setiap keluarga untuk menjalankan program ini.
Biarkan kehidupan berjalan normal dan melahirkan banyak calon generasi masa depan. Tidak selayaknya warga nahdliyin mencegah kelahiran seorang anak dari proses berkeluarganya.
Biarkan para istri melahirkan anak sebanyak mungkin tanpa harus mencegahnya. Bukankah para ulama Nusantara dan pengasuh pondok pesantren juga melahirkan banyak anak dari keluarga yang dibangunnya?
Hal ini memperjelas bahwa banyak anak adalah solusi untuk mengatasi kekuarangan sumberdaya manusia bangsa, dan tentunya, meningkatkan kualitas-kuantitas umat Islam masa depan secara global.
Kedua, Poligini. Banyak anak belum cukup untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan kuantitas generasi muda. Seorang lelaki nahdliyin sejati harus menikah lebih dari satu istri dan merawatnya menjadi keluarga yang berkualitas secara agama dan pendidikan.
Menikah menambah istri bukanlah hal yang jelek, justru itu merupakan solusi bagi pertumbuhan bangsa ini. Seorang istri atau calon istri harus menerima dinikahi atau suaminya menikah lagi, karena kepentingannya ini merupakan kepentingan bangsa dan agama secara global.
Wanita nahdliyin tidak selayaknya marah atau menuntut cerai saat suaminya ingin menikah lagi dengan gadis cantik yang produktif-cerdas-muda-cantik. Justru ini akan menjadi partner yang ideal dalam membangun keluarga.
Haram hukumnya bagi istrinya yang menolak suaminya untuk menikah lagi dan mencegahnya dengan ancaman khuluk (tuntutan cerai). Ia akan menjadi wanita yang dikutuk dan terkutuk oleh alam semesta. Karena secara naluri lelaki adalah mengayomi banyak wanita dan ini sunnatullah.
Inilah strategi “Membangun dari Dalam” yang harus dilakukan oleh nahdliyin dan warga negara Indonesia secara umum, yaitu memperbanyak istri dan anak.
Dengan banyak anak maka akan membuka peluang untuk meningkatkan jumlah sumberdaya manusia masa depan bagi bangsa kepulauan ini.
Dan dengan memperbanyak istri maka akan membuka peluang yang cukup besar dalam membangun komunitas keluarga yang berkualitas dan generasi-generasi muda yang melimpah.
“Membangun dari Dalam” tidak serta merta dijalankan secara normal. Tetap akan ada norma-norma tertentu yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh keluarga nahdliyin, sehingga kelak strategi ini tidak menjadi senjata makan tuan yang justru merugikan nahdliyin sendiri.
Pengalaman Tiongkok yang komunis dan Jepang yang mendekati atheis jangan terulang di Indonesia. Saatnya nahdliyin bergerak dengan memperbanyak anak dan melebarkan sayap pengembangan lebih banyak istri. Wallahu’alam bisshowaf.