Suatu hari ada seorang santri yang ditugasi oleh Kiai Hamid Pasuruan untuk mencari orang yang namanya fulan di salah satu pasar kecamatan tempat asal santri tersebut.
Kang santri tersebut mencari-cari informasi dan bertanya sepenjuru pasar tentang si fulan. Begitu heranya santri tersebut setelah mengetahui bahwa si fulan yang dimaksud Kiai Hamid adalah orang gila di pasar tersebut.
Karena tugas guru, santri tersebut memberanikan diri untuk menyampaikan salam gurunya pada orang gila tersebut. Seketika orang itu menangis seraya berpesan “Tanyakan pada gurumu dosa apa aku ini, hingga identitasku dibuka oleh Allah,”.
Pada kisah yang lain. Kiai Said pernah bercerita ketika ibadah di tanah suci bersama Gus Dur. Beliau diajak oleh Gus Dur untuk mencari orang yang khowas (khusus), yang ibadahnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berdua bersama Gus Dur, mereka mengunjungi satu persatu kelompok orang yang memberi pengajian, ada yang jenggotnya panjang, ada yang kitabnya setumpuk dan mampu menjawab segala macam pertanyaan, ada yang jamaahnya banyak, tetapi semuanya dilewati.
Lalu sampailah mereka di hadapan seorang Mesir yang sederhana, surbannya tidak besar, duduk di sebuah sudut. Kang Said selanjutnya diminta oleh Gus Dur untuk mendekati orang tersebut dan memperkenalkan diri. Tak seperti biasanya, orang Mesir terkenal dengan keramahannya, biasanya langsung ahlan wa sahlan ketika menerima tamu, tetapi yang satu ini bersikap agak ketus ketika ditanya.
Kang Said menyampaikan niat dari Gus Dur untuk meminta sekedar doa selamat dari orang tersebut.
Setelah berdoa ia langsung lari, dan menarik sajadahnya sambil berkata “Dosa apa aku ya robbi sampai engkau buka rahasiaku dengan orang ini”.
Kisah-kisah di atas merupakan sekelumit kisah dari para pengamal Malamatiyah. Sebuah laku sufistik klasik dari abad ke-3 Hijriyah.
Malamatiyah diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang yang sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual.
Dalam khazanah tasawuf, ajaran malamatiyah ini disandarkan kepada Hamdun Al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, berasal dari Naisyapur, Khurasan.
Menurut Al-Qashshar, praktik malamatiyah merupakan tradisi untuk menurunkan derajat manusia sehingga tidak menjadi makhluk sombong seperti iblis. Dengan menjalankan malamatiyah maka manusia menjadi sadar bahwa yang berhak untuk sombong, mulia, dan paling besar hanya Allah.
Para pengamal malamatiyah lebih fokus pada peperangan melawan ego sendiri. Mereka mengenal prinsip dalam bertasawuf; menyalahkan diri sendiri (malamatun nafs), memperkuat dawamul-iftiqor (keadaan merasa hina secara permanen), dan katmul-ibadah (menyembunyikan ibadah). Syeikh Samnun al-Qassar menyebut jalan spritual mereka sebagai ‘jalan kesalahan’. Tidak memberi ruang sedikitpun bagi diri sendiri untuk merasa benar atau baik. Bahkan mereka rela melakukan keburukan agar dicela atau dianggap hina demi menutupi kesalehanya.
Ada sebuah fakta menarik tentang korelasi pengaruh malamatiyah dalam perkembangan Islam di Nusantara. Hal ini pernah disampaikan oleh Kiai Muwwafiq dalam salah satu ceramahnya.
Pada abad ke-12 para sufi dari timur tengah banyak yang berniaga dan berdakwah di Nusantara. Banyak diantaranya adalah pelaku suluk malamatiyah. Sehingga ajaran islam yang dipraktikan oleh orang jawa banyak terpengaruh dengan ajaran malamatiyah.
Itulah salah satu faktor islam di Indonesia tidak mengedepankan formalitas seperti simbol-simbol keagamaan. Bahkan ajaranya cenderung luwes dapat melebur dengan tradisi setempat.
Para kiai-kiai besar keturunan habaib juga kebanyakan tidak mengagung-agungkan jalur nasabnya. Seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari dan para kiai besar lainya yang sejatinya memiliki garis nasab dengan Rasulullah SAW.
Para pelaku Malamatiyah untuk menutupi derajat spiritualitasnya seringkali berbuat hal-hal yang kontroversial baik dari segi ucapan maupun tindakan. Seperti berpura-pura gila, berpura awam dan lain-lainya.
Saya sendiri percaya bahwa tradisi malamatiyah di Indonesia masih lestari dari generasi ke generasi. Banyak para sholihin di Indonesia yang menutupi capaian spiritualitasnya. Sepertihalnya sikap kontroversial Gus Dur misalnya yang memicu celaan dari khalayak awam. Atau bahkan seperti Gus Miek, Gus Miftah yang memilih bergaul dengan para preman dan dunia hiburan malam sebagai jalan dakwahnya.
Oleh karenanya kita harus selalu mawas diri untuk berbaik sangka pada siapapun. Jangan sampai merasa diri lebih mulia bahkan sampai menghina orang yang kelihatannya bodoh, kontroversial, bahkan sakit jiwa sekalipun. Sebab para pelaku Malamatiyah adalah mereka yang ingin terlihat hina di bumi, tetapi namanya dikenal oleh penduduk langit. Wa Allahu A’lam.
Lakpesdam NU Kabupaten Tanggamus