Kediri – Di tengah isu maraknya tentang degradasi pondok pesantren, Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) menegaskan bahwa pesantren menjadi tempat penguatan karakter yang tidak banyak ditemukan di pendidikan lain. Perihal tersebut disampaikan Prof. Dr. Amin Suyitno, M.Ag pada sambutannya pada acara Dies Natalis ke 59 dan Wisuda Universitas Islam Tribakti Lirboyo Kediri Minggu (26/10/2025).
Bertempat di Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo, Prof. Amin Suyitno menyampaikan bahwa keistimewaan kampus berbasis pesantren adalah penguatan karakter. Menurutnya, ada tiga model yang dapat menjadi ciri alumni dari kampus berbasis pesantren ketika dihadapkan dengan kehidupan bermasyarakat. Pertama dari sisi intelektualitasnya. Ukurannya pada kualifikasi akademik dengan nilai Indeks Prestasi. Kedua, kekuatan pada bidang keterampilan khusus dan tambahan.
“dalam bahasa sekarang disebut dengan entrepreneur. (Santri di) pondok sudah terbiasa disiapkan oleh pada Kyainya. Sampai hari ini tidak ada alumni pondok pesantren nganggur, mengapa? Karena memang alumni pondok pesantren itu disiapkan menjadi orang-orang yang terampil. Minimal terampil di bidang keagamaan” terangnya.
Kemudian hal yang ketiga tidak banyak ditemukan di beberapa kampus lain yakni karakter. Mengutip dari para ahli, Prof. Amin menyampaikan jika kamu kehilangan uang maka kamu tidak kehilangan apa-apa, jika kamu kehilangan kesehatan maka kamu kehilangan sesuatu, yang paling penting jika kamu kehilangan karakter, akhlakul karimah atau integritas maka kamu kehilangan segalanya.
“Kita menjadi tidak berarti jadi siapapun. Mau jadi seorang profesor, mau menjadi seorang pejabat tinggi, kehilangan karakternya, orang itu tidak ada harganya di mata masyarakat. Modalitas hidup anda yang ditempa bertahun-tahun di pondok itu jangan sampai tercerabut dari akarnya, jangan sampai hilang dari diri kita” jelasnya..
Namun persoalan mewujudkan pendidikan karakter di lembaga pendidikan tinggi menurutnya masih harus tetap diwaspadai. Dengan adanya fenomena bullying, beberapa oknum kekerasan fisik, melakukan blaming di lembaga pendidikan. Maka Kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang mengusung lima konsep yang disebut Pancas Cinta. Konsep dasarnya yakni agar melahirkan murid yang cinta kepada Tuhannya dan sesama umat manusia.
“cinta sesama umat manusia itu tidak boleh dipandang dari hanya hubungan karena seideologi, se-organisasi, atau keyakinan saja. Lebih dari itu harus dilihat karena sisi kemausiannya. Tidak boleh diantara kita yang merasa lebih dari manusia lain” terangnya.
Maka Kurikulum Berbasis Cinta Kementrian Agama juga dapat disebut sebagai The Soul of The Curriculum. Karena menyangkut masalah jiwanya kurikulum bukan sekedar kurikulum biasa. Kementerian Agama dengan secara sistematis akan terus mengawal KBC pada semua jenjang pendidikan dari tingkat Raudhatul Athfal, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah sampai pada tingkat perguruan tinggi.
“Harapan saya semoga nanti Universitas Islam Tribakti juga bisa menginsan dari Kurikulum Berbasis Cinta. Universitas Tribakti dari sekian kampus yang sudah universitas, (Universitas Islam Tribakti) sudah lebih dari universitas karena berbasis pondok. Mudah-mudahan ini bisa menginspirasi kampus-kampus yang lain yang ada di Indonesia” ungkapnya. (mrc)
Kontributor: M Rudi Cahyono

Islamic digital activist. Mugi Barokah Manfaat








