Kajian tentang hadis misoginis, yang dianggap memuat kebencian terhadap perempuan, menjadi isu yang kompleks dan hangat diperbincangkan. Isu ini tidak hanya menyangkut permasalahan perempuan, tetapi juga merambah ke ranah politik, ekonomi, hukum, agama, hingga keyakinan pribadi, yang kerap memicu perdebatan. Dampak lainnya adalah usaha untuk mengkritisi dogma agama, menentang ayat-ayat Al-Qur’an, serta meragukan hadis dan penerapan hukum Islam, dengan alasan bahwa hukum tersebut dianggap tidak adil bagi perempuan.
Hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an memiliki peran penting, baik sebagai penjelas maupun pelengkap atas ketentuan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Namun, tuduhan adanya hadis misoginis yang dilontarkan kaum feminis menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah benar ada hadis yang mendiskreditkan perempuan, ataukah hal ini hanya hasil dari kesalahpahaman dalam menafsirkan maksud dan tujuan hadis tersebut?
Kaum feminis, termasuk Fatima Mernissi, menuduh adanya unsur misoginis dalam sejumlah hadis Rasulullah SAW. Dalam kritiknya, feminis lebih berfokus pada matan hadis dan mereka menilai bahwa hadis yang dianggap misoginis sering kali bertentangan dengan karakter Rasulullah yang dikenal penuh kasih sayang dan menghormati perempuan. Ada beberapa hadis yang ditentang oleh kaum Feminis seperti hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ”اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ”
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu’anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Berwasiatlah (dalam kebaikan) pada wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya. Jika kamu coba meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka dia bisa patah. Namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasihatilah para wanita”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum feminis menentang hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki karena dianggap diskriminatif dan misoginis. Kritik mereka berfokus pada sanad dan matan hadis. Dari segi sanad, mereka meragukan keabsahan perawi seperti Abu Hurairah, namun pandangan ini terbantahkan oleh fakta bahwa hadis tersebut dianggap shahih oleh jumhur ulama. Dari segi matan, mereka menilai hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan lebih mirip dengan kitab Injil. Namun, jumhur ulama tafsir memandang hadis tersebut sebagai penjelas al-Qur’an, bukan bertentangan dengannya.
Tafsir ini menyatakan bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam melambangkan hubungan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan. Beberapa ulama, seperti Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juga menafsirkan hadis ini secara kiasan untuk menekankan pentingnya kelembutan dan kebijaksanaan dalam memperlakukan perempuan, tanpa mengindikasikan kedudukan yang lebih rendah bagi mereka.
Jika diartikan secara kiasan, hadis ini menggambarkan wanita sebagai sesuatu yang mirip dengan tulang rusuk yang bengkok, yang dapat diartikan sebagai sifat cepat emosi, sensitif, dan perasaan yang mudah berubah. Rasulullah tidak secara rinci menjelaskan tingkat kebengkokannya, namun mengisyaratkan pengaruh sifat tersebut terhadap perilaku wanita yang mungkin sulit dipahami oleh pria. Dalam hal ini, “bengkok” dapat dimaknai sebagai ketidakstabilan emosi, yang berbeda dengan kestabilan dan keseimbangan emosi yang diartikan sebagai lurus.
Selain itu, juga terdapat hadis mengenai wanita tidak layak menjadi pemimpin kaum yang menjadi kontroversi, hadis tersebut berbunyi
عنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً» (رواه البخارى فى الجامع الصحيح)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah berkata: “Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka”. Abu Bakroh meneruskan: Saat Kaisar Persia mati, Rasul bersabda: “Siapa yang menjadi penggantinya?” Mereka menjawab: Putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”
Fatima Mernissi memasukkan hadis ini dalam kategori hadis misoginis, dengan kritik terhadap sanad dan matan hadis tersebut. Mernissi mengkritik Abu Bakrah memiliki kepentingan politik saat menyampaikan hadis ini, mengingat saat itu terjadi perseteruan antara Aisyah dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mernissi juga mengaitkan pencambukan Abu Bakrah oleh Khalifah Umar dengan ketidakjujurannya, yang menurutnya mengurangi validitas hadis tersebut. Namun, klaim Mernissi bahwa Abu Bakrah menyampaikan hadis ini karena kepentingan pribadi tidak terbukti, karena Abu Bakrah justru menasihati Aisyah untuk tidak berperang dan menghindari fitnah. Terkait pencambukan, peristiwa tersebut terjadi bukan karena kebohongan, tetapi karena ketidakcukupan kesaksian Abu Bakrah, yang sesuai dengan syariat Islam.
Dari sisi matan, Mernissi berpendapat bahwa hadis ini bertentangan dengan kisah Ratu Saba (Balqis) dalam Qs. An-Naml yang menunjukkan bahwa wanita bisa menjadi pemimpin. Namun, dinukil dari Mausu’ah Al-Manahi Syar’iyyah karya Syaikh Salim Al Hilali, penjelasan terhadap kisah Ratu Saba dapat diartikan bahwa kepemimpinannya terjadi dalam konteks masyarakat kafir, dan setelah memeluk agama Nabi Sulaiman, ia menjadi bagian dari kepemimpinan di bawah Nabi Sulaiman. Selain itu, kepemimpinan perempuan dalam kisah tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk mengubah hukum syariat yang berlaku setelah kedatangan Islam.
Oleh karena itu, kajian terhadap hadis “misoginis” perlu dilakukan dengan hati-hati, terutama ketika dikaji dari perspektif feminis yang cenderung mengadopsi konsep kesetaraan gender ala Barat. Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah menyamakan posisi laki-laki dan perempuan dalam segala hal, melainkan memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah dan peran masing-masing untuk saling melengkapi. Dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan, seharusnya berlandaskan pada syariat Islam, bukan dengan menyalahkan teks-teks agama atau ulama. Keadilan antara laki-laki dan perempuan harus dihargai, dengan masing-masing memiliki kewajiban, hak, dan peran sesuai dengan ketentuan Islam.
Penulis: Nabila Rahma Al Aghna (Mahasiswa Ilmu Hadis 5A)
Merawat Islam yang Ramah