Saya berhenti di jalan dekat pantai Bulu. Mesin motor kebul-kebul. Sepertinya ia kecapekaan. Saya putuskan istirahat sebentar. Hari sudah tak pagi lagi. Tapi, aktivitas laut di Bulu masih begitu ramai. Dua orang nelayan memikul drum hasil laut. Mereka berjalan di bahu jalan. Berjalan pelan hingga menghilang di ujung gang.
Aroma laut begitu kuat saat melintas di Bulu. Bukan hanya karena banyak nelayan di sana. Tapi, ada aroma lain. Bahkan, saat naik bus jika sudah masuk Bulu benar-benar sudah terasa.
Bulu menjadi bagian penting saat saya menuju ke Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Bagi saya, Bulu itu seperti Desa Awis Krambil. Desa asal Wiranggaleng tokoh dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Dari nama yang dipilih sudah terlihat, desa itu ada pohon kelapanya. Krambil itu istilah jawa, yang artinya kelapa.
Sejak SMP, setiap lebaran saya ke Sarang. Ini sudah menjadi tradisi saya setiap Idulfitri. Tujuannya ke Desa Bonjor Kecamatan Sarang. Di sana ada rumah guru ngaji saya. Lulus dari SMP, saya masih ke Sarang. Begitu juga saat kuliah hingga selesai kuliah. Saya tetap ke Bonjor.
Lebaran tahun lalu saya ke Bonjor tapi guru tidak di rumah. Saya putuskan untuk pulang lagi. Saat pulang seolah ada yang menuntun saya untuk sambang di Pesantren Al-anwar Sarang. Ini pesantren yang diasuh Kiai Maimoen Zubair.
Saya memang bukan santri pesantren ini, yang mondoknya bertahun-tahun. Saya hanya pernah ikut mondok saat Ramadan di pesantren Al-Anwar. Itu pun tidak sampai sebulan.
Dorongan yang kuat agar saya sowan ke pesantren itu pun membawa berkah. Saya pun diberi kesempatan bertemu Mbah Moen. Bukan saya saja sebenarnya. Tapi, banyak orang di sana. Orang dari mana-mana ingin riyayan dengan Mbah Moen.
Orang yang duduk di sebelah saya berasal dari Blora. Orang Ngawen. Mereka rombongan satu bus. Silaturahim ke Mbah Moen. Dia bercerita tak ada hubungan apapun dengan Mbah Moen. Santri bukan, apalagi keluarga.
“Ini sudah rutinan setiap lebaran Mas. Ada kiai di kampung kami yang mengajak kami ke sini,” ujar pria berkumis itu.
Kedatangan rombongan masyarakat dari berbagai daerah itu disambut sama oleh Mbah Moen. Mereka duduk di tempat yang sama. Mereka harus antri untuk bersalaman. Pun demikian dengan jatah minum. Mereka mendapat jatah teh botol yang sama.
Di tahun lalu itu, saya melihat ada serombongan orang yang dilihat dari gayanya adalah seorang pejabat. Mereka berusaha melobi agar bisa bertemu dengan Mbah Moen. Harapannya bisa berbicara khusus.
Kali ini mereka gagal. Sebab, jadwal sowan di Mbah Moen sudah terpampang jelas. Ba’da Subuh sampai pukul 10.00. Kemudian, pukul 2 siang sampai 4 sore. Dan ba’da Magrib sampai jam 9.
Sepertinya ini cara Mbah Moen untuk tidak membeda-bedakan tamu. Semua tamu diterima. Dapat minum dan jajan. Diberi nasehat. Lalu di doakan.
Tahun lalu Mbah Moen dawuh agar tetap bersyukur pada Allah. Syukur memang mudah diucap. Tapi merasa syukur memang sepertinya orang sering lupa. Mbah Moen pun mengingatkan tentang Ibadah Puasa. Sebab, kata Mbah Moen, puasa itu ibadah yang selalu mengingatkan selalu hubungan manusia dengan Tuhan-Nya.
Tahun ini, menjadi tahun kedua saya sowan ke Mbah Moen. Jika tahun lalu saya datang sendiri. Tahun ini ada yang menemani. Tahun lalu saya datang persis saat dhuhur. Sedangkan tahun ini saya datang menjelang magrib.
Saat itu, langit mulai gelap. Lampu pesantren Al-Anwar sebagian telah menyala. Sayup-sayup terdengar suara Adzan. Ndalem Mbah Moen sudah ramai orang. Tapi, tidak seramai saat jam-jam seperti yang di pampang di papan pengumuman.
Hanya ada sekitar 15 orang. Mereka duduk di ruang tamu. Jajanan sudah tertata di meja. Mbah Moen duduk di kursi sebelah barat. Beliau duduk di sisi utara. Saya dan rombongan duduk di sisi utara. Tamu yang lain menyebar. Sebab, penataan kursi mirip huruf L.
Suasana hening. Seorang pria muda memberi kami teh botol. Persis seperti tahun lalu. Teh botol setiap orang. Kami tidak akan minum jika tidak dipersilakan. Jika sudah ada aba-aba. Kami baru minum.
Jajanan pun demikian. Pria yang sama pun membawakan pada kami. Kami mengambil satu kue kering. Kami makan dan minum teh botol lagi. Suasana kembali hening. Meski Mbah Moen di dekat, saya tak berani menatap. Saya hanya ndiluk saja.
Jujur, seumur-umur saya memang tidak pernah sowan kiai. Saya hanya santri mbeling yang sangat jauh dari para kiai. Jadi, sowan Mbah Moen menjadi momen penting dalam diri saya.
Pria yang membawakan teh botol dan jajan tadi mendekat ke saya.
“Kalau ada uneg-uneg langsung saja disampaikan,” saran dia.
Mendapat tawaran itu, saya terdiam. Saya tidak punya uneg-uneg. Saya harus bicara apa saya tidak tahu. Meski pekerjaan saya tukang tanya orang. Untuk kali ini mental saya jatuh. Saya tidak sanggup untuk tanya-tanya. Mbatin saja, saya tidak berani. Pilihannya cuma satu. Diam.
Saat-saat mendebarkan pun tiba. Sungkem dengan Mbah Moen.
“Teko endi iki,” tanya Mbah Moen pada kami.
“Saking Tuban,” jawab saya singkat.
Saya pun sungkem. Menyampaikan niat saya jika tahun ini semoga bisa mengerjakan sunnah nabi. Beliau pun berdoa. Di akhir doanya beliau mengisyaratkan saya untuk membaca surat Al-fatehah. Beliau pun ikut membaca. Kemudian saya berbisik. “Mugi-mugi selalu sehat kiai,” ucap saya lirih. Sembari jalan dengan dengkul meninggalkan tempat duduk Mbah Moen. (*)
Redaktur suluk.id