Merawat semangat kader Ansor dan Banser di kawasan kota memang lebih berat jika dibanding kawasan desa. Tapi, dari sana, menunjukan betapa para pengurus Ansor dan Banser Kota adalah orang-orang pilihan.
Sejak dulu hingga sekarang, khidmah masyayikh dengan mengurus organisasi keagamaan memang bukan perihal mudah. Di satu sisi ia menyita waktu, di lain sisi butuh keikhlasan yang paripurna. Karena itu, tak sembarang orang mau melakukannya.
Pimpinan Anak Cabang (PAC) GP Ansor Kota Bojonegoro tentu sama halnya dengan PAC – PAC GP Ansor di kecamatan-kecamatan lain di Bojonegoro. Bedanya, kualitas tantangannya berbeda.
Mengurus Ansor di kawasan kota, tentu berbeda dengan mengurus Ansor di kawasan pedesaan. Selain kesibukan masing-masing warga yang tergolong punya mobilitas tinggi, pagar rumah di kawasan kota juga terlalu tinggi-tinggi.
Kecenderungan antropologis ini, tentu berdampak pada sisi psikologis masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dengan kata lain, warga perkotaan lebih sulit ditemui untuk sekadar nyangkruk, ngopi dan rasan-rasan kebaikan.
Tipologi masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa. Selain mobilitas tinggi, masyarakat kota cenderung urban individualistis. Sehingga, sekadar bertanya tentang kapan bulan puasa mulai dilaksanakan pun, butuh pendekatan yang berbeda.
Sebaliknya, meski hujan badai dan tsunami, warga pedesaan masih mudah srawung tetangga dan mudah ditemui. Sehingga, kaderisasi dan penempaan militansi (seharusnya) masih bisa dengan mudah disemai dan dibiak-bergandakan.
Dengan kecenderungan warga perkotaan yang sulit nyangkruk dan ngopi, tentu berdampak pada proses pencarian kader, apalagi penempaan militansi. Meski begitu, meromantisir variabel kesulitan bukan langkah solutif bagi seorang kader militan, bukan?
Ya, benar, meski kondisinya demikian, tak sedikitpun membuat punggawa-punggawa Ansor Kota Bojonegoro gentar dan mundur. Sebab, serupa dinding yang kokoh, Ansor Kota hanya bergetar tapi tak pernah roboh.
Dari Ketua PAC Ansor Kota Bojonegoro,
Hariyanto (Azhari) dan Sekretaris PAC Ansor Kota Bojonegoro, Hery Puji lah, saya mulai tahu betapa tantangan dan rintangan mengurus Ansor Kota bukan masalah yang sederhana. Bahkan, cenderung butuh treatmen berbeda dalam menghidupkan giat-giatnya.
Memang menjadi sesuatu yang lumrah. Kota, di manapun letak geografisnya berada, selalu punya sejenis tantangan berbeda. Mulai dari sisi psikologis manusianya, hingga faktor eksternal berupa perang mazhab ideologi yang begitu sangat terbuka.
Sebagai anak kecil yang baru diajak ikut grayang-grayang, saya bisa merasakan sekaligus menyimpulkan bahwa meningkatkan kualitas militansi dan menjaring sebanyak-banyaknya kader ideologis adalah satu faktor penting yang harus kami lakukan.
Sialnya, meningkatkan kualitas militansi sekaligus menjaring kader, menjadi urusan yang tidak sederhana jika ruang palagan-nya adalah pusat kota. Butuh adaptasi luar biasa. Baik dari kemasan strategi hingga konsep komunikasinya.
Sebab, Ansor Kota tak hanya menghadapi masyarakat individualistis dengan mobilitas tinggi. Tapi juga potensi perbedaan mazhab dakwah ekstrim yang sialnya punya progresivitas dan militansi cukup mumpuni. Hal ini, tentu butuh kematangan, agar mental kami tak rentan pingsan di tengah jalan.
Ansor Kota memang masih butuh banyak belajar. Baik belajar ikhlas dan sabar maupun belajar meningkatkan kemampuan SDM dalam bidang apa saja. Sebab, tanpa kemampuan mumpuni, bakal sulit bergerak di dunia yang kian lama kian asyik saja ini.
Ansor Kota juga masih butuh banyak dukungan. Baik dukungan berupa doa maupun dukungan berupa diadakannya pelatihan-pelatihan. Sebab, tanpa adanya kuantitas pelatihan mumpuni, bakal sulit menggerakkan roda organisasi.
Saat saya menceritakan kesulitan di zaman digital ini pada bapak saya, bapak justru berkata: khidmah masyayikh pada zaman bapak jauh lebih sulit karena belum ada hape dan belum ada sinyal internet. Sehingga sulit berkomunikasi. Hmm.
Barangkali, satu hal yang harus kami yakini bersama, bahwa khidmah masyayikh, sejak zaman dahulu hingga saat ini hakikatnya sama. Sama-sama tidak pernah mudahnya. Kalaupun ada perbedaan, hanya pada variabel kesulitannya saja.
Kesulitan yang saat ini kami lalui, ternyata sudah dirasakan bapak-bapak dan mbah-mbah kami zaman dahulu. Jika orang zaman dahulu sulit berkomunikasi karena belum ada hape. Orang zaman sekarang sulit berkomunikasi justru karena sering main hape saat bertemu ~
Nah, kan, hakekat kesulitan tetap sama. Bedanya, variabelnya saja yang berbeda. Mirip-mirip kayak perbedaan kurs mata uang. Jika zaman dahulu Rp 500 sudah bisa buat beli rokok Sukun, sekarang cuma bisa buat beli permen.
Jika kesulitan dan rintangan adalah sebuah keniscayaan yang hadir di tiap zaman, bukankah bergerak dan berjuang harusnya tetap menjadi niscaya untuk terus dilakukan?
Merawat semangat kader Ansor dan Banser di kawasan kota memang lebih berat jika dibanding kawasan desa. Tapi, dari sana, menunjukan betapa para pengurus Ansor dan Banser Kota adalah orang-orang pilihan. Bukan orang sembarangan.