Tanggal 1 Romadhon 1441 Hijriyah yang jatuh pada tanggal 24 April 2020, memiliki kesan tersendiri bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebab pada gelaran ibadah puasa kali ini, kita dihadapkan dengan munculnya suatu wabah atau epidemi bernama Coronavirus Disease 19 (Covid-19).
Epidemi ini diakibatkan oleh infeksi virus Corona bernama Sars-Cov-2 pada manusia, sehingga mengakibatkan tubuh mengalami aneka gangguan, seperti adanya demam tinggi, batuk dan pilek hingga sesak nafas.
Hampir semua orang di seluruh dunia sedang menghadapi wabah ini, tercatat jika dikalkulasikan ada tiga juta orang yang terinfeksi dan hampir dua ratus ribuan yang meninggal dunia.
Di Indonesia sendiri total telah menyentuh angka sembilan ribu orang positif dan angka kematian menyentuh tujuh ratusan.
Tentu kita dihadapkan dengan wabah yang sangat mematikan, khususnya bagi mereka yang berusia senja, apalagi memiliki riwayat penyakit kronis dan dalam imunitas tubuh yang menurun.
Pada bulan puasa seperti ini seharusnya kita memperbanyak ibadah ke mesjid, baik sholat berjamaah hingga tadarus dan ngaji.
Tapi kini harus melakukannya secara individu, yang oleh ulama disepakati bahwa dalam situasi darurat, apalagi ada wabah menular yang mengancam, maka ibadah berjamaah dapat diganti dengan individu.
Karena resiko penularan begitu besar, sampai berakibat menyebabkan korban jiwa, maka ijtihad ulama ini sangat relevan.
Virus Dibawa Oleh Hewan Liar
Wabah ini bukan tiba-tiba muncul atau sebuah konspirasi yang telah dilukiskan oleh pengagum teori tersebut. Adanya Covid-19 ini ditengarai diakibatkan oleh rusaknya ekosistem, karena perilaku manusia yang tidak lekas puas.
Seperti yang disebutkan dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Rothan dan Byraready (2020), pada bagian transmisi atau sederhananya penyebaran. Mereka menemukan bukti bahwa awal mulainya virus penyebab Covid-19 ini menyebar dari sebuah pasar hewan liar di Wuhan, China.
Penelitian tersebut melihat proses zoonosis atau berpindahnya patogen (mikroorganisme pembawa penyakit) dari hewan ke manusia, berawal dari wilayah pasar tersebut.
Dugaan awalnya adalah ular, namun penelitian terdahulu menyatakan bahwa Coronavirus ini umumnya dibawa oleh unggas dan mamalia.
Penelitian lanjutan menemukan virus ini menyebar diduga dibawa oleh sejenis kelelawa yang masuk dalam keluarga mamalia, perkiraan ini berdasarkan analisis sekuen genomik dengan angka prediksi 88%.
Kajian terbaru dari School of Earth, Energy and Enviromental Science Universitas Stanford telah mengatakan bahwa deforestasi dapat menyebabkan peningkatan terjadinya penyakit seperti COVID-19.
Temuannya menunjukkan bahwa ketika hutan ditebangi untuk penggunaan pertanian (eksploitasi industrial), kemungkinan penularan penyakit zoonosis, atau hewan ke manusia, meningkat. Berdasarkan penelitian yang ada saat ini, virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, diperkirakan berasal dari hewan.
Karena dalam penelitian sebelumnya, mengungkapkan bagaimana hilangnya hutan tropis di Uganda menempatkan orang pada risiko lebih besar untuk interaksi fisik dengan primata liar dan virus yang mereka bawa.
Dari penjabaran di atas, kita menemukan satu perspektif, bahwa virus yang menyebabkan epidemi dahsyat, merupakan sebuah sebab atas tindakan manusia yang terlampau rakus dalam memanfaatkan alam.
Hal ini tentunya sudah berulang kali diingatkan oleh Allah dalam firmannya di surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Ar-Rum:41)
Kerusakan yang menyebabkan epidemi merupakan sebuah peringatan dari Allah kepada manusia, supaya benar-benar menjaga apa yang telah dikaruniakan.
Namun kerakusan, berlaku berlebih-lebihan seperti eksploitasi alam tanpa batas, telah menyebabkan petakan yang dirasakan oleh manusia pada akhirnya.
Situasi ini seharusnya membawa kita kembali ke prinsip hablum minal alam, bahwa menjaga alam melalui kelola yang baik dan tidak berlebih-lebihan, sama dengan melaksanakan iman yang sesungguhnya.
Menelaah dalam Perspektif Fiqh Sosial KH. Sahal Mahfudz
KH. Sahal Mahfudz dalam Nuansa Fiqh Sosial mengatakan jika, krisis ekologis menjadi penting untuk dibahas dalam masalah respons fiqh sosial, terlebih terhadap kemiskinan.
Karena menurut KH. Sahal kerusakan alam akan berdamapak pada kemiskinan dan sebaliknya, pelestarian alam akan memiliki akibat yang positif terhadap kesejahteraan hidup manusia dan peningkatan ekonomi.
Memang sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa dalam sistem kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
Menurut KH. Sahal, masalah kemiskinan sangat terkait dengan masalah lingkungan. Adapun menurut beliau masalah kemiskinan tersebut dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu lingkungan fisik dan non-fisik.
Dari segi nonfisik inilah ajaran Islam sangat tidak menghendaki, yakni seperti halnya kerusakan moral. Hal ini tercermin sebagaimana penegasan KH. Sahal, bahwa kaum muslim saat ini dihadapkan terhadap tantangan perubahan.
Perubahan- perubahan yang terjadi menurutnya telah menggiring masyarakat Iislam dari orientasi nilai-nilai islam kepada orientasi nilai-nilai ekonomi. Sehingga perubahan apapun yang terjadi dalam masyarakat tidak dipertimbangkan berdasarkan moral.
Tapi didasarkan pada pertimbangan untung-rugi secara ekonomi. Adapun lingkungan fisik, menurut KH. Sahal harus kembali pada pertimbangan masalah manfaat. Sebagaimana ajaran islam mengingatkan pada manusia untuk memanfaatkan alam sebaik- baiknya dan juga melestarikan lingkungan hidup.
Persoalan kerusakan lingkungan sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, kondisi ketimpangan yang tajam dapat membuat seseorang berlaku abai dan lebih memikirkan dirinya sendiri daripada orang lain.
Kondisi ini tercermin dari adanya segelintir orang yang rakus, di mana mereka memakan hak dari orang lain, sehingga terjadilah ketimpangan.
Penguasaan segelintir orang menyebabkan eksploitasi masif, didukung dalih menyejahterahkan, maka implikasinya adalah banyak orang yang mendukung kegiatannya, sebab tidak ada alternatif lain untuk bertahan hidup.
Ditambah lagi, banyak orang yang mewajarkan perusakan alam atas dalih pemenuhan hidup.
Maka dalam konteks inilah Nahdlatul Ulama dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) Pada Tanggal 20–23 Juli 2007 di Jakarta, mengajak seluruh warga NU dan seluruh elemen masyarakat wajib menolak dan melawan para perusak hutan, perusak lingkungan hidup, perusak kawasan pemukiman, para pengembang teknologi, pengembangan bahan kimia dan uranium yang membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, para penyebar penyakit sosial, pihak-pihak yang melakukan monopoli ekonomi dan menyebabkan kemiskinan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negera.
Maka sudah jelas bahwa kerusakan lingkungan telah menyebabkan mudhorot sampai memicu bencana. Kerusakan tersebut disebabkan manusia yang lupa terhadap pentingnya menjaga ciptaan-Nya.
Ketimpangan dan kemiskinan menjadi hal yang cukup relevan, di mana selama masih ada hal tersebut, maka alam pun tidak akan tenang keberadaannya. Kondisi ini tentu akan memicu virus-virus lainnya, jika kita tidak serius dalam menjaga alam kita.
Referensi
Jordan, Rob. 8 April 2020. Stanford Researchers Show How Forest Loss Leads to Spread of Disease. Diakses pada 29/04/2020 pada pukul 03.00 WIB. https://news.stanford.edu/2020/04/08/understanding-spread-disease-animals-human/
Mahfudh, K. S. (2003). Nuansa Fiqh Sosial. LKIS: Yogyakarta.
Rothan, H. A., & Byrareddy, S. N. (2020). The Epidemiology and Pathogenesis ff Coronavirus Disease (Covid-19) Outbreak. Journal of Autoimmunity, 102433.
Warga Nahdlatul Ulama, pekerja sosial