Secara kasat mata, jumlah warga NU (nahdliyyin) yang tersebar di seantero nusantara tidak bisa dihitung. Banyak di antara mereka yang tersebar di kota, sedangkan yang tinggal di desa tak terhitung lagi jumlahnya.
Mereka yang tersebut kemudian dipilah lagi menjadi dua bagian, yaitu warga NU kultural dan warga NU struktural. Warga NU kultural menunjuk pada sekelompok masyarakat awam yang secara tradisi mengikuti amaliah-amaliah NU, seperti tahlilan, istighotsah, selamatan, dziba’an, dan sejenisnya.
Banyak di antara masyarakat tersebut yang tidak menyadari bahwa dirinya termasuk warga NU, lebih-lebih mengerti mengenai seluk-beluk NU. Tercatat dalam kartu anggota atau tidak, selama mereka menjalankan tradisi tersebut, maka secara tidak langsung mereka merupakan bagian dari keluarga besar jam’iyah NU.
Di sisi lain, warga NU struktural adalah mereka yang duduk di kepengurusan jam’iyah NU, mulai dari pengurus ranting di tingkat desa, pengurus anak cabang atau majelis wakil cabang di tingkat kecamatan, pengurus cabang di tingkat kabupaten, pengurus wilayah di tingkat propinsi, hingga pengurus besar yang berada di tingkat pusat.
Lebih dari itu, warga NU struktural adalah mereka yang dianggap mengerti tentang NU dan mampu menggerakkan roda jam’iyyah (organisasi) untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemandirian umat.
Orang-orang NU struktural inilah yang semestinya memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola organisasi NU untuk memberdayakan masyarakat di bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan budaya serta sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitarnya masing-masing.
Akan tetapi, dalam kenyataannya fungsi tersebut belum bisa berjalan dengan optimal karena beberapa kendala, salah satunya adalah sumberdaya manusia yang dimiliki NU memiliki latar belakang dan motif yang beragam.
Ada sebuah analogi untuk menggambarkan bagaimana tipologi warga nahdliyin dalam ber-NU. Setidak-tidaknya warga nahdliyin itu terbagi dalam 3 golongan, yang pertama adalah NU sejati, kedua NU pedati, dan ketiga NU merpati.
NU sejati adalah orang yang lahir batinnya hanya untuk NU. Mereka benar-benar berjuang untuk kemajuan NU dan kemaslahatan umat. Tidak memiliki tendensi apapun dalam berjuang, rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran serta hartanya untuk menghidup-hidupkan NU.
Orang-orang tipe seperti ini tidak kenal pamrih dan memiliki semangat yang luar biasa dalam memenuhi panggilan organisasi tanpa tergantung situasi dan kondisi. Baginya tidak ada bedanya NU struktural maupun NU kultural. Apakah NU terlibat politik praktis atau tidak, memiliki wakil di pemerintahan atau tidak, diuntungkan atau dirugikan oleh lain pihak, baginya tak jadi soal.
Pokoknya NU! Waktu pagi, siang atau malam, musim kemarau atau penghujan, tak menjadi penghalang untuk berjuang. Yang penting NU! Pendek kata, apapun akan dilakukan asalkan NU bisa hidup dan berkembang.
Sedangkan NU pedati merupakan golongan orang-orang yang memang sejak awal sudah menjadi NU, mengaku bahwa dirinya orang NU, bahkan merasa sakit hati jika tidak dianggap sebagai orang NU.
Akan tetapi orang tersebut susah sekali untuk diajak terlibat dalam kegiatan-kegiatan NU, kalau tidak didorong-dorong tidak mau, baru ketika yang mendorong sudah keringetan, orang tersebut baru mau bergerak, itupun gerakannya sangat lamban dan terkesan setengah hati.
Golongan yang disebut ketiga adalah NU merpati. Golongan ini merupakan orang-orang yang memiliki semangat dalam memperjuangkan NU, akan tetapi perjuangannya itu dilakukan karena mengharapkan sesuatu yang menguntungkan.
Ibarat burung merpati yang baru akan terbang mendekat jika dilempari dengan makanan atau umpan. Sehingga kadar semangat dan kinerjanya juga sangat tergantung dengan jumlah dan jenis umpan yang diberikan. Jika umpan yang diberikan menarik, maka ia akan bergegas datang.
Sebaliknya jika umpan yang tersedia kurang menyenangkan, maka ia akan sekedarnya saja datang untuk kemudian menghilang. Golongan terakhir inilah yang nampaknya semakin hari semakin bertambah jumlahnya.
Meskipun demikian, kita tidak boleh malas apalagi menyerah untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan dan melangkah ke depan. Golongan NU pedati maupun NU merpati perlu kiranya didekati secara lebih intens, istiqomah dan diberkan pemahaman yang lebih dalam agar dapat ber-NU dengan benar, atau jika perlu wajib di NU-kan kembali.
Karena bagaimanapun juga, mereka semua adalah warga NU yang memiliki potensi besar dan menjadi aset berharga untuk kemajuan NU di masa mendatang. Mereka harus kita berdayakan sebelum ada pihak lain yang ingin memberdayakan.
Wallau a’lam bis shawab.
Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kabupeten Tuban