Setelah melaksanakan ritualitas makan sahur dan sholat subuh. Waktunya mempersiapkan materi seminar yang diadakan oleh kementerian agama Tuban. Sebagaimana biasa mempersiapkan laptop di ruang tamu, sekaligus perpustakaan guna menulis beberapa kata kunci yang akan dipresentasikan dalam acara penguatan kelompok kerja majlis taklim dengan tema peran dan fungsi majelis taklim sebagai wadah pendidikan dan penguatan karakter masyarakat. suasana pagi yang cerah, suara burung trucuan dan perkutut yang saling mengisi keindahan alam, sebelum kebisingan hadir berlalu lalang. Pagi itu tidak lagi diiringi oleh mendung yang bergelayut di Bumi Wali Tuban. Sebab biasanya subuh atau mendekati pagi guyuran hujan yang meninabobokan pasca sahur untuk tetap berada di peraduan.
Sebagaimana kebiasaan kamipun hadir tepat waktu. Sambil menunggu peserta, kami berbincang dengan panitia dari kementerian agama yang juga sekretaris Dewan Majid Indonesia. Beliau menyampaikan kalau ada undangan berbuka puasa lintas agama. Dan meminta kami untuk hadir juga dalam kegiatan tersebut. Di sela-sela memberikan materi, ketua FKUB Kabupaten Tuban juga mengirimkan surat undangan untuk menghadiri kegiatan yang sama.
Ramadlan dan Tradisi Maleman
Bulan Ramadlan merupakan bulan yang penuh dengan berkah dan maghfirah, di bulan inilah umat Islam berikhtiar untuk senantiasa mendekatkan diri pada Tuhannya. Dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang memberikan kemanfaatan baik bagi diri sendiri dan orang lain. Dapat kita lihat di sore hari menjelang berbuka puasa, banyak komunitas yang membagikan takjil bagi para pengendara di jalan raya. Tidak hanya komunitas yang notabenya orang muslim. Non Muslim pun tidak mau ketinggalan untuk juga berbagai takjil di bulan Ramadlan. Berbagi dengan sesama dalam bingkai keharmonisan dalam perbedaan.
Setelah pulang dari kampus, langsung mempersiapkan diri untuk menghadiri slametan maleman yang diadakan oleh RT. Begitu juga sebelum Ramadlan kita juga mengadakan slametan yang dinamakan megengan. Sebuah ruang tradisi dan budaya menyongsong bulan Suci Ramadlan. Begitu juga halnya maleman, tradisi budaya yang turun menurun tetap dilestarikan oleh masyarakat dalam rangka berkirim do’a kepada sanak keluarga yang telah mendahuluinya dan menyongsong malam seribu bulan yang memiliki keistimewaan tersendiri pada bulan ramadlan yang kita kenal dengan Lailatul Qodar.
Kami berkumpul di Mushola, sebelum kirim do’a dimulai, Pak RT menyampaikan sambutan dalam rangka slametan maleman dan selanjutnya pemimpin do’a bertawasul sebelum pembacaan Surat Yasin dan Tahlil. Para warga dari berbagai karakter khusuk melafalkan do’a-do’a. Setelah pembacaan surat yasin dilanjutkan dengan pembacaan tahlil. Pada waktu pembacaan tahlil, kami bergeser perlahan dan izin karena ada undangan untuk menghadiri kegiatan buka bersama lintas agama di Gereja Katolik Paroki Santo Petrus Tuban.
Malem Songo di Bulan Ramadlan
Kita memahami bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari ruang dan tradisi masyarakat Nusantara khususnya Tuban. Tuban sebagai pusat pergerakan dakwah para Wali dalam menyebarkan Islam ke-seantero Nusantara melalui pelabuhan yang sangat fenomenal pada waktu itu. Bertemunya teks suci yaitu Al-Qur’an yang mengandung berbagai ajaran keislaman sebagai pegangan umat Islam dengan tradisi budaya masyarakat menjadikan masyarakat berkarakter moderat menerima perbedaan dalam keragaman atau yang lebih kita kenal dengan kearifan lokal (local wisdom).
Adanya fenomena nikah malem songo, merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada ruang tradisi budaya masyarakat setempat. Menikah merupakan ajaran agama yang seyogyanya kita jalankan dengan baik. Namun di sisi lain, ada perhitungan Jawa yang dipegang oleh masyarakat yang kita kenal dengan pitung. Oleh karena itu, pertemuan nilai ajaran agama dengan realitas tradisi budaya masyarakat menjadi keunikan tersendiri tanpa mencerabut akar kebudayaan dan nilai ajaran.
Pada dasarnya setiap bulan semuanya baik dalam menjalankan hal-hal yang sudah diajarkan agama. Begitu juga dengan pernikahan malem songo. Dikarenakan malem songo di bulan ramadlan merupakan bulan yang penuh dengan keberkahan. Sebagaimana dijelaskan bahwasanya dalam bulan suci ramadlan merupakan bulan yang penuh dengan berkah, di akhir bulan ramadlan juga diturunkan lailatul qodar. Dan di bulan syawal Rasulullah melaksanakan pernikahan.
Begitu juga halnya di bulan syuro, dapat dipastikan sepinya pernikahan khususnya pada tradisi Jawa. Padahal sudah dijelaskan dalam melaksanakan hal yang baik khususnya pernikahan tidak melihat dimensi ruang dan waktu. Inilah kearifan tradisi Jawa yang sangat sarat akan nilai-nilai kearifan yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan kehidmatan dan ketawadu’an orang Jawa pada sejarah Rasulullah Saw. Bulan syuro merupakan bulan kesedihan, bulan dibunuhnya cucu-cucu Rasulullah Saw oleh Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala. Oleh karena itu, sebagai umat Rasulullah tidaklah elok bila membuat pesta keramaian dibulan kesedihan tersebut. Di sinilah kearifan lokal mewujud dalam prilaku masyarakat Jawa tanpa mencerabut akar tradisi kebudayaan dan nilai agama.
Oleh karena itu, pernikahan malem songo dan sepinya pernikahan di bulan syuro merupakan tradisi leluhur yang sarat dengan nilai filosofi antara teks suci dan realitas masyarakat yang harus dihormati dan dilestarikan.
Buka Bersama Lintas Agama
Sesampainya di Gereja Katolik Paroki Santo Petrus, kami melihat banyak masyarakat baik dari jemaah dan tamu undangan yang hadir. Kepala kementerian agama Kabupaten Tuban, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan para anggotanya, Tokoh masyarakat dan beberapa warga sekitar. Kegiatan buka bersama lintas agama merupakan kegiatan yang diinisiasi dalam upaya turut serta dalam menciptakan kerukunan dan keharmonisan dalam perbedaan.
Kepala Kementerian Agama dan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), bersama-sama memberikan sambutan dan pengarahan betapa pentingnya hidup damai dalam keanekaragaman. Sebagaimana disampaikan James Keene: Agama mengajarkan persatuan dan perdamaian umat, melahirkan sikap saling menghormati dan menghargai. Begitu juga halnya Masdar memberikan pandangan bahwasanya para penganut agama memainkan perannya dalam membangun harmoni sosial di lingkungannya melalui ajaran agamanya. Implementasi ajaran agama dapat membentuk kebersamaan, solidaritas, menanamkan kebaikan, menghilangkan prasangka dan menciptakan perdamaian dan harmoni antar sesama. Keragaman beragama merupakan fitrah kehidupan manusia. Semua agama mengajarkan terbentuknya harmoni sosial yang diupayakan melalui semangat toleransi, kebersamaan, menghilangkan prasangka dan penguatan solidaritas.
Oleh karena itu, fenomena keragaman agama adalah keniscayaan sehingga dibutuhkan harmoni agama. Setiap agama sudah memberikan ruang pembelajaran dan doktrin konstruktif dalam memahami setiap ajaran agama. Buka bersama lintas agama merupakan ruang kebersamaan yang didasari saling menghargai dan menghormati, memperkokoh kebersamaan dalam perbedaan guna menciptakan keharmonisan.

Dosen IAINU Tuban – Pasulukkan Literasi Nuswantoro